WahanaNews.co | Arab Saudi memutuskan memilih China, bukan Amerika Serikat, untuk merundingkan perdamaian dengan Iran. Alasannya, AS dipandang sebagai broker yang tidak jujur.
Hal ini diumumkan oleh pangeran senior Turki al-Faisal dari AFP Arab Saudi.
Baca Juga:
Permalukan India, Jet J-10C China Jadi Bintang Baru di Medan Tempur
Pangeran berusia 78 tahun itu menjelaskan mengapa China berhasil menyelesaikan salah satu persaingan paling sengit di Timur Tengah, karena Barat telah lama gagal.
“Amerika Serikat atau Eropa tidak bisa menjadi penengah yang jujur antara kedua belah pihak,” kata Pangeran Turki al-Faisal, mantan kepala intelijen Saudi. Pangeran sulung saat ini menjadi ketua Pusat Penelitian dan Kajian Islam Yayasan Raja Faisal.
“China adalah mitra yang logis untuk mencapai hal ini,” ujarnya, dilansir Jumat (17/03/2023).
Baca Juga:
China Tundukkan Korea di Final, Raih Gelar Ke-14 Piala Sudirman
Pangeran Turki al-Faisal berharap kesepakatan damai Arab Saudi-Iran dapat menjadi titik balik bagi kawasan, terutama dalam sengketa Suriah, Yaman, Lebanon, dan Irak.
Riyadh menuding Iran sebagai pemicu ketegangan sektarian di wilayah tersebut, dan Pangeran Turki al-Faisal yakin kesepakatan damai dapat meningkatkan perilaku Iran.
Iran dan Arab Saudi pada Jumat lalu sepakat untuk melanjutkan hubungan diplomatik usai 7 tahun berpisah dan bermusuhan. Kesepakatan itu disimpulkan di Beijing dengan broker China.
Kedua negara telah lama berusaha menyelesaikan perbedaan, termasuk Qassem Soleimani yang bersalah, jenderal top Iran yang dibunuh oleh Amerika Serikat dalam serangan pesawat tak berawak tahun 2020 di Baghdad, Irak.
Soleimani berada di Baghdad pada saat itu untuk membahas langkah-langkah meredakan ketegangan antara Teheran dan Riyadh. Israel kemudian mengakui keterlibatannya dalam pembunuhan itu.
Ketika ditanya apakah perdamaian antara Iran dan Arab Saudi kemungkinan akan membahayakan normalisasi antara Riyadh dan Israel, Pangeran Turki al-Faisal mengatakan bahwa perjanjian perdamaian Saudi-Israel tidak lebih dari cerita media dan normalisasi antara kerajaan dan negara Apartheid adalah tidak dijamin.
Arab Saudi dan Iran sepakat untuk membuka kembali kedutaan dan misi mereka dalam waktu dua bulan dan berjanji untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri masing-masing. Ini muncul dari pernyataan bersama yang ditengahi China.
Di Washington ada kegugupan seputar perjanjian damai dengan spekulasi atas melemahnya pengaruh Amerika di wilayah tersebut.
Ungkapan kekesalan Arab Saudi terhadap AS bukan pertama kalinya.
Tahun 2022 lalu, Turki Al-Faisal, bicara blak-blakan bahwa negaranya sudah dikecewakan oleh Amerika Serikat (AS) usai Riyadh percaya pada Washington soal jaminan keamanan dan stabilitas kawasan Teluk.
Dia membeberkan ancaman secara khusus sebagai pengaruh Iran di Yaman dan penggunaan Houthi sebagai alat tak hanya untuk mengacaukan Arab Saudi, tapi juga menganggu keamanan dan stabilitas jalur laut internasional di sepanjang Laut Merah, Teluk dan Laut Arab.
“Fakta bahwa Presiden [Joe] Biden menghapus Houthi dari daftar teroris telah membuat mereka lebih agresif dalam serangan mereka di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab,” sebut Turki.
Dia juga menyinggung pencabutan status organisasi teroris pada Houthi Yaman pada 12 Februari 2021 oleh pemerintahan Partai Demokrat, partai Joe Biden. Sebelumnya, kelompok pemberontak Yaman itu masuk dalam daftar Organisasi Teroris Asing. [afs/eta]