WahanaNews.co | Amerika Serikat (AS) melarang impor produk dari perusahaan pembuat sarung tangan Malaysia, Supermax Corp. Alasannya, terjadi praktik kerja paksa di perusahaan tersebut.
Supermax merupakan perusahaan Malaysia keempat yang menghadapi larangan tersebut dalam 15 bulan terakhir.
Baca Juga:
Dua WNI Tewas dalam Kecelakaan Maut Bus Pariwisata di Malaysia
Perusahaan tersebut, yang membuat berbagai macam produk mulai dari minyak sawit sampai sarung tangan medis dan komponen iPhone - mendapat soroan terkait dugaan penyiksaan para tenaga kerja asing, yang jumlahnya cukup signifikan dalam perusahaan tersebut.
Dalam sebuah pernyataan pada Rabu (20/10), Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) menerbitkan 'Withhold Release Order' yang melarang impor berdasarkan informasi yang beralasan yang mengindikasikan penggunaan kerja paksa di operasi manufaktur Supermax.
"Dengan 10 dari 11 indikator kerja paksa yang ditemukan selama penyelidikan kami, CBP memiliki cukup bukti untuk menyimpulkan Supermax dan anak perusahaannya yang memproduksi sarung tangan melanggar UU perdagangan AS," jelas Komisioner Asisten Eksekutif Kantor Perdagangan CBP, AnnMarie Highsmith, dilansir dari The Straits Times, Kamis (21/10).
Baca Juga:
Ambisi Malaysia Bangkit di ASEAN Terganjal Penolakan Jauregizar dari Bilbao
CBP mengacu pada indikator kerja paksa yang diidentifikasi oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang termasuk jam kerja berlebihan, jeratan hutang, kekerasan fisik dan seksual, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam.
CBP tidak merinci indikator mana yang ditemukan di Supermax dan unit-unitnya.
Supermax tidak segera merespons permintaan komentar.
Pada Mei, Supermax mengatakan pihaknya memperlakukan para pekerja migran berdasarkan UU tenaga kerja dan berjanji melawan kerja paksa, menyusul laporan media bahwa CBP melakukan penyelidikan terhadap perusahaan tersebut.
Sebagian besar pekerja migran di Malaysia berasal dari Bangladesh dan Nepal.
Aktivis hak-hak buruh, Andy Hall, yang mengisi petisi penyelidikan Supermax kepada CBP, mengatakan wawancaranya dengan pekerja perusahaan tersebut menunjukkan mereka hidup dan bekerja dalam "kondisi mengerikan".
Dia mengatakan, para pekerja membayar biaya rekrutmen yang tinggi sehingga mereka harus terjerat hutang, menghadapi pemotongan upah yang tidak sah dan tinggal dalam tempat yang sempit.
Supermax tidak menanggapi pernyataan Hall.
Pesaing terbesar Supermax, Top Glove yang merupakan perusahaan sarung tangan lateks terbesar dunia, dilarang CBP terkait dugaan yang sama pada Juli lalu, tapi larangan itu dicabut bulan lalu setelah perusahaan itu mengatasi masalah tenaga kerjanya.
Produsen minyak sawit, Sime Darby Plantation dan FGV Holdings juga dilarang CBP tahun lalu terkait dugaan kerja paksa. Kedua perusahaan ini menunjuk auditor untuk mengevaluasi praktik mereka dan mengatakan mereka akan terlibat dengan CBP untuk mengatasi masalah tersebut. [qnt]