WahanaNews.co, Jakarta - Lembaga-lembaga amal dunia menyuarakan peringatan bahwa bisa terjadi "kehancuran total" di Gaza setelah agresi Israel tak berhenti lebih dari dua bulan.
Mereka juga mengingatkan bisa terjadinya kelaparan dan wabah penyakit.
Baca Juga:
Kemlu RI Beberkan Proses Evakuasi WNI di Palestina Akan Melalui Sejumlah Rute
Dalam konferensi video dengan para jurnalis minggu ini, organisasi-organisasi internasional menggambarkan kengerian di Jalur Gaza.
"Situasi di Gaza bukan hanya bencana, tapi juga apokaliptik... dengan potensi konsekuensi yang tidak dapat kembali seperti semula," kata Bushra Khalidi dari Oxfam, sebuah badan amal lain yang berbasis di Inggris.
"Zona aman Israel di Gaza hanyalah fatamorgana," katanya lagi.
Baca Juga:
AS Bakal kirim Beberapa Kapal Perang dan Pesawat Tempur di Dekat Wilayah Israel
Israel melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap Gaza setelah militan Hamas menyerbu melintasi perbatasan pada tanggal 7 Oktober.
Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan hingga Sabtu (9/12) ini 17.487 orang tewas dalam perang tersebut. Selain itu 1,9 juta dari 2,4 juta penduduk wilayah itu juga mengungsi.
Hanya 14 dari 36 rumah sakit di Jalur Gaza yang saat ini berfungsi sesuai kapasitasnya, menurut badan kemanusiaan PBB OCHA, dan hanya sedikit bantuan yang menjangkau mereka yang membutuhkan.
"Mereka yang selamat dari pemboman tersebut kini menghadapi risiko kematian akibat kelaparan dan penyakit," kata Alexandra Saieh dari Save the Children.
"Tim kami bercerita tentang belatung yang menggerogoti luka, dan anak-anak yang menjalani amputasi tanpa obat bius," katanya lagi. Saieh juga menceritakan ratusan penduduk Gaza mengantre untuk "satu toilet" atau berkeliaran di jalanan untuk mencari makanan.
Kamar jenazah over-kapasitas
Setelah sempat gencatan senjata seminggu, yang ditandai pertukaran sandera Hamas dengan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel, pemerintahan Benjamin Netanyahu terus melakukan pengeboman dan serangan darat, dan bersumpah untuk melenyapkan Hamas.
Ratusan ribu warga sipil telah meninggalkan Gaza utara untuk mencari perlindungan di selatan, tapi kemudian mereka juga dibom di sana.
"Tidak ada tempat yang aman di Gaza, dan kami telah melihat hal ini sejak arahan (Israel)... menyerukan orang-orang untuk meninggalkan Gaza utara ke selatan," kata Shaina Low dari Dewan Pengungsi Norwegia.
"Perintah Israel yang memaksa warga Palestina menumpuk di daerah padat penduduk di Gaza selatan, tanpa jaminan keselamatan atau kepulangan, jelas-jelas melanggar hukum kemanusiaan internasional."
Sandrine Simon dari badan amal Medecins du Monde (Dokter Dunia) bercerita tentang seorang rekannya yang terluka di kota Khan Younis di wilayah Selatan karena serangan tank pada sekolah tempat dia berlindung.
"Butuh waktu berjam-jam untuk mencapai rumah sakit, di mana perawat yang kelelahan berusaha mati-matian untuk merawat ratusan pasien yang tergeletak di lantai," kata Simon.
"Rumah sakit di Gaza menjadi kamar mayat. Itu tidak bisa diterima," tambahnya lagi.
Presiden Doctors Without Borders Isabelle Defourny menceritakan kisah serupa.
"Kami bekerja di rumah sakit Al-Aqsa, menerima rata-rata 150 hingga 200 pasien luka perang setiap hari... sejak tanggal 1 Desember."
Pada suatu hari di minggu ini, mereka menerima lebih banyak korban meninggal dibandingkan pasien yang terluka.
"Rumah sakit penuh sesak, kamar mayat meluap, bahan bakar dan pasokan medis mencapai tingkat yang sangat rendah," kata Defourny lagi.
[Redaktur: Sandy]