WahanaNews.co | Ketua MPR, Bambang
Soesatyo alias Bamsoet, menekankan, pergantian
kepemimpinan di Amerika Serikat dari Presiden Donald Trump ke Joe
Biden harus tetap memberikan efek
positif bagi peningkatan kerjasama Indonesia - Amerika Serikat (AS).
ass="MsoNormal">Dalam lawatannya ke AS, awal
November 2020, pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Kemaritiman dan
Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, telah bertemu Presiden
Donald Trump dan Wakil Presiden Mike Pence di White House.
Baca Juga:
MPR Cabut Nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998
Hasilnya, Indonesia yang diwakili Duta Besar Indonesia untuk
Amerika, Muhammad Lutfi, dengan Amerika yang diwakili Presiden EXIM Bank
Amerika, Kimberly Reed, menandatangani MoU senilai 750 juta dolar AS atau
sekitar Rp 10,5 triliun.
MoU ini untuk memperkuat partisipasi Amerika dalam berbagai
sektor pembangunan di Indonesia.
Antara lain pada sektor energi, infrastruktur, transportasi,
teknologi informasi dan komunikasi, pelayanan kesehatan, serta lingkungan.
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
"Selain itu, ada juga penandatanganan Letter of Interest (LoI) dari United
States International Development Finance Corporation (DFC) yang akan
menginvestasikan 2 miliar dolar AS, setara Rp 28,3 triliun, untuk Sovereign Wealth Fund/SWF (Lembaga
Pengelola Investasi di Indonesia). Kedua perjanjian tersebut ditandatangani di
akhir periode pemerintahan Presiden Trump, karenanya kita perlu mengawal jangan
sampai ada perubahan di masa pemerintahan Presiden Joe Biden," ujar Bamsoet dalam Forum Group
Discussion(FGD) kerjasama MPR dengan Brain Society Center (BS Center) bertema
"Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Kepentingan Ekonomi NKRI di
Era Joe Biden",
di MPR, Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Turut hadir,
antara lain,
Ketua Umum BS Center mantan
Ketua Banggar dan Ketua Komisi XI DPR, Ahmadi Noor Supit, Pakar Hukum Internasional sekaligus Rektor
Universitas Achmad Yani,
Hikmahanto Juwana, Duta Besar Republik Indonesia untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa Periode Tahun 2004-2007, Makarim Wibisono, Direktur Paramadina
Graduate School of Diplomacy,
Shiskha Prabawaningtyas,
dan anggota Dewan Pakar BS Center, Alfan Alfian.
Calon Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini memaparkan,
banyak komunitas global berharap terpilihnya Joe Biden akan menjadi "koreksi" atas berbagai kebijakan kontroversial Trump sebelumnya.
Demikian juga bagi Indonesia, hadirnya "Biden effect" diharapkan tidak hanya memberi dampak instan,
tetapi juga mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang akan memberi nilai kemanfaatan.
"Beberapa aspek yang bersinggungan dengan kepentingan
politik dan kepentingan ekonomi Indonesia pasca terpilihnya Joe Biden, antara
lain penyelesaian Laut China Selatan, dimana Indonesia punya kepentingan
menjaga wilayah Zona Ekonomi Eksklusif di Perairan Natuna. Selain juga pada
penguatan kemitraan strategis Indonesia-Amerika Serikat, serta peningkatan
kerjasama bilateral khususnya di bidang perekonomian yang ditandai peningkatan
nilai investasi Amerika di Indonesia," papar Bamsoet.
Ketua DPR ke-20 ini mengingatkan, berbagai harapan yang "didambakan" dari pemerintahan Joe Biden tersebut bukanlah sesuatu
pemberian, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan.
Karena implementasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat, baik
di bidang politik dan ekonomi, tentunya juga dilakukan dalam kerangka
melindungi kepentingan nasional mereka.
"Artinya, kita membutuhkan kemampuan bernegosiasi yang
handal untuk mendapatkan hasil yang optimal. Kehadiran pemerintahan Joe Biden
tidak saja menghadirkan peluang, tetapi juga tantangan yang harus kita jawab
dengan peningkatan daya saing pada seluruh sektor dan bidang pembangunan,"
tutur Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memperkirakan, meskipun Joe
Biden akan mengambil kebijakan yang lebih lunak terkait "perang dagang" dengan Tiongkok, namun persaingan antara kedua
negara besar tersebut masih tetap berlangsung.
Karenanya, Indonesia harus cerdik mengambil manfaat, namun tetap
prudent dan berhati-hati dalam mengambil kebijakan.
"Indonesia adalah subjek yang berdaulat untuk menentukan
sikap dan pendirian politik, tidak boleh terombang ambing oleh arus politik
global. Prinsip politik luar negeri kita adalah Bebas Aktif. Dimaknai sebagai
sikap independensi dari keberpihakan dan ketergantungan pada salah satu kutub
kekuatan global, serta berperan aktif dalam upaya menciptakan perdamaian
dunia," pungkas Bamsoet.
Hal senada diungkapkan Hikmahanto Juwana. Rektor Universitas
Ahmad Yani ini menegaskan, terlepas bagaimana Joe Biden nanti akan melaksanakan
kebijakan luar negerinya, Indonesia harus menjalin hubungan dengan AS yang bisa
menguntungkan kepentingan nasional.
"Tugas dari siapa pun pengelola pemerintahan di Indonesia,
agar hubungan dengan berbagai negara, termasuk AS dan China, tidak digantungkan
dengan siapa presidennya. Tidak juga digantungkan pada garis politik suatu
negara. Terpenting, hubungan yang dijalin mempunyai nilai positif bagi
Indonesia," kata Hikmahanto.
Hikmahanto menambahkan, Indonesia harus konsisten menjalankan
politik luar negerinya yang Bebas Aktif.
Indonesia akan bersahabat dengan negara manapun, selama
menguntungkan dan diabdikan untuk kepentingan nasional Indonesia.
"Namun, bila kepentingan Indonesia dilanggar, meski
Indonesia telah banyak mendapatkan fasilitas dan kemudahan, maka Indonesia
harus tegas dan bersuara," tandas Hikmahanto.
Sementara itu, Makarim Wibisono menuturkan, di era pemerintahan
Joe Biden nanti, Indonesia bisa meningkatkan diplomasi di bidang ekonomi. Di antaranya
di sektor perdagangan, investasi dan pariwisata.
"Keberhasilan di tiga sektor bisnis tersebut, merupakan
sumbangan penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Indonesia juga bisa bekerjasama
dengan Amerika Serikat guna mengatasi terorisme, money laundering ataupuncyber crimesyang dapat membahayakan perekonomian
Indonesia," tambah Makarim. [dhn]