WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tragedi memilukan terjadi di bagian timur Republik Demokratik Kongo, ketika banjir bandang yang terjadi pada malam hari melanda Desa Kasaba di Provinsi Sud Kivu.
Lebih dari 100 orang dilaporkan tewas, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan lansia yang tertidur lelap saat bencana datang.
Baca Juga:
Tragedi Banjir Bandang di Pegunungan Arfak, Empat Korban Belum Ditemukan
Menurut pejabat lokal yang dikutip AFP, banjir ini disebabkan oleh hujan deras yang mengguyur sejak Kamis malam hingga Jumat.
Sungai Kasaba meluap dan menghantam permukiman warga di sekitar tepi Danau Tanganyika.
"Air bah membawa segalanya batu besar, pohon tumbang, dan lumpur sebelum menghancurkan rumah-rumah di tepi danau," ujar Bernard Akili, pejabat dari wilayah Sud Kivu.
Baca Juga:
Update Tragedi Banjir Bandang Pegunungan Arfak, 16 Korban Telah Ditemukan dan 3 Korban Masih Hilang
Ia menambahkan bahwa mayoritas korban jiwa adalah anak-anak dan orang tua yang tak sempat menyelamatkan diri.
Selain korban jiwa, 28 orang mengalami luka-luka, dan sekitar 150 rumah hancur diterjang banjir. "Skala kehancuran sangat besar," lanjut Akili.
Sammy Kalonji, administrator wilayah setempat, mengonfirmasi bahwa setidaknya 104 orang tewas, namun jumlah korban diperkirakan akan terus bertambah.
Seorang warga yang juga diwawancarai AFP menyebut bahwa hingga Sabtu siang, sedikitnya 119 jenazah telah ditemukan.
Desa Kasaba adalah wilayah terpencil yang hanya dapat diakses melalui jalur Danau Tanganyika.
Kondisi ini mempersulit proses evakuasi dan distribusi bantuan karena tidak tersedianya layanan internet dan infrastruktur dasar, ujar seorang relawan lokal.
Bencana serupa bukan hal asing di kawasan timur Kongo, terutama di wilayah sekitar Danau Tanganyika dan Danau Kivu.
Wilayah ini sering mengalami banjir bandang dan tanah longsor yang semakin parah akibat deforestasi di perbukitan sekitarnya.
Pada tahun 2023, banjir serupa menewaskan sekitar 400 orang di beberapa komunitas di Provinsi Sud Kivu.
Deforestasi liar membuat lereng-lereng bukit menjadi rapuh dan mudah longsor saat hujan turun lebat.
Kombinasi antara kondisi geografis yang rawan bencana, minimnya infrastruktur, dan kurangnya sistem komunikasi membuat masyarakat di wilayah ini berada dalam kondisi sangat rentan saat musim hujan tiba.
Pihak berwenang dan sejumlah organisasi kemanusiaan telah diterjunkan untuk mencari korban dan menyalurkan bantuan darurat.
Namun, akses menuju lokasi bencana yang sulit memperlambat proses penyelamatan dan pengiriman logistik.
"Kami sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat dan komunitas internasional," kata Kalonji. Ia menekankan perlunya bantuan darurat seperti makanan, air bersih, tenda, dan obat-obatan bagi ratusan warga yang kehilangan tempat tinggal.
Di tengah upaya penanganan bencana, pemerintah daerah dan aktivis lingkungan menyerukan pentingnya pelestarian hutan dan penataan permukiman yang lebih aman.
"Kalau kita tidak memperbaiki tata kelola lingkungan dan mencegah deforestasi, tragedi seperti ini akan terus berulang," pungkas Akili.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]