WahanaNews.co, Jakarta - Terjadi pertempuran senjata api dalam insiden konflik antarsuku di wilayah dataran tinggi Papua Nugini. Kejadian ini menyebabkan sejumlah besar orang menjadi korban.
Sebagaimana dilaporkan oleh AFP pada Senin (19/2/2024), Asisten Komisioner Polisi Papua Nugini, Samson Kua, menyatakan bahwa puluhan mayat telah ditemukan setelah terjadi penyergapan antar suku.
Baca Juga:
Longsor Terjadi di Papua Nugini, Kemenlu Pastikan Tak Ada WNI Jadi Korban
Kejadian tersebut terjadi pada dini hari Minggu (18/2/2024) waktu setempat. Bentrokan antar suku dilaporkan terjadi di sekitar kota Wabag, yang terletak sekitar 600 kilometer sebelah barat laut dari ibu kota Port Moresby.
"Kami meyakini masih ada beberapa jenazah... di luar sana di semak-semak," ucap Kua saat berbicara kepada AFP.
Kepolisian setempat menerima sejumlah foto dan video mengerikan yang diklaim diambil dari lokasi kejadian.
Baca Juga:
Dirjen Adwil Kemendagri Bahas Kerja Sama Indonesia-Papua Nugini di Perbatasan
Foto dan video mengerikan itu menunjukkan jenazah-jenazah dalam keadaan telanjang dan berlumuran darah tergeletak di pinggir jalanan, ada juga yang ditumpuk di belakang truk bak terbuka.
Bentrokan ini diduga masih berkaitan dengan konflik yang terjadi antara suku Sikin, Ambulin dan Kaekin yang ada di dataran tinggi Papua Nugini.
Klan-klan dataran tinggi disebut telah saling berperang selama berabad-abad di Papua Nugini. Namun masuknya pasokan senjata otomatis menjadikan bentrokan lebih mematikan dan semakin meningkatkan siklus kekerasan.
Dalam pernyataannya, Kua menyebut para anggota kelompok suku yang terlibat bentrok menggunakan berbagai jenis persenjataan modern, mulai dari senapan SLR, Ak-47, M4, AR15 hingga M16, serta shotgun pump-action dan senjata api rakitan.
Diyakini bahwa pertempuran masih berlangsung di area-area pedesaan terpencil di dekat Wabag.
Dataran tinggi Papua Nugini sering menjadi lokasi bentrokan antarsuku, dengan sejumlah pembunuhan massal terjadi beberapa tahun terakhir.
Pemerintahan Port Moresby berupaya menekan, memediasi, memberikan amnesti dan mengerahkan strategi lainnya untuk meredakan tindak kekerasan itu, namun tidak berhasil.
Pemerintah Papua Nugini telah mendeploy sekitar 100 tentaranya ke wilayah tersebut, namun peran mereka terbatas dan pasukan keamanan tetap berada dalam keadaan kalah jumlah dan senjata.
Pembunuhan seringkali terjadi di komunitas-komunitas terpencil, dengan anggota suku melancarkan serangan atau penyergapan sebagai bentuk balas dendam atas serangan sebelumnya.
Warga sipil, termasuk wanita hamil dan anak-anak, sering menjadi sasaran, dan kejadian-kejadian ini telah terjadi di masa lalu.
Tindakan pembunuhan yang terjadi cenderung sangat kejam, dengan para korban dianiaya menggunakan parang, dibakar, dimutilasi, atau disiksa.
Kepolisian lokal mengeluhkan keterbatasan sumber daya untuk menjalankan tugas keamanan, karena personel mereka menerima upah yang sangat rendah, sehingga beberapa senjata kepolisian akhirnya berada di tangan anggota suku yang terlibat dalam konflik.
Oposisi terhadap pemerintahan Perdana Menteri (PM) James Marape mengajukan tuntutan pada Senin (19/2/2024), meminta peningkatan jumlah polisi yang dikerahkan dan menuntut pengunduran diri komisioner pasukan keamanan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]