Sebuah perlakuan yang disebut Human Rights Watch sama dengan apartheid.
Maung Soe Naing sedang bekerja jauh dari rumah ketika tentara dan etnis Buddha Rakhine mulai mengamuk di desa-desa Rohingya sebagai tanggapan atas serangan yang dilakukan para gerilyawan Rohingya pada 25 Agustus 2017.
Baca Juga:
Polres Subulussalam Berhasil Amankan Tiga Orang Terduga Pelaku TPPO Rohingya
"Saya bahkan tidak bisa berdiri diam karena takut," jelasnya kepada AFP, menggunakan nama samaran karena risiko mendapat kekerasan akibat berbicara kepada media internasional.
Seorang teman asli Rakhine membantu Maung Soe Naing bersembunyi dari pasukan keamanan sebelum dia bertemu kembali dengan ibunya sebulan kemudian.
"Saya tinggal untuk ibu saya karena dia menangis di telepon karena takut dia tidak akan dapat melihat saya di masa depan jika saya melarikan diri," ungkapnya.
Baca Juga:
Kemenag Kabupaten Aceh Barat Telusuri Pasangan Rohingya Nikah di Lokasi Penampungan
Harapan apa pun bahwa kehidupan akan membaik setelah kekerasan pupus.
Pihak berwenang telah "membatasi pergerakan kami lebih dari sebelumnya dan kesempatan kerja serta koneksi terputus," ujarnya.
"Setelah 2017, kami memiliki begitu banyak kisah tragis ... itu menjadi seperti beban," tambahnya.