WahanaNews.co | Tiba-tiba Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden minta maaf dan mengungkapkan penyesalannya ke para pemimpin dunia. Ia melakukan hal tersebut di sela-sela pertemuan iklim KTT COP 26 di Glasgow, Skotlandia.
Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab. Biden meminta maaf atas tindakan pendahulunya Donald Trump yang menarik diri dari kesepakatan iklim global.
Baca Juga:
BMKG Kalsel Intensifkan Edukasi Masyarakat Terkait Peningkatan Suhu Signifikan Lima Dekade Terakhir
"Saya kira saya seharusnya tidak meminta maaf. Tetapi, saya meminta maaf atas kenyataan bahwa AS pada pemerintahan terakhir menarik diri dari Kesepakatan Paris dan membuat kami sedikit tertinggal," katanya dalam pidatonya, Senin (1/11/2021) waktu setempat.
Ia menegaskan dalih bahwa kesepakatan itu membunuh peluang ekonomi salah besar. Menurutnya mengurangi perubahan iklim adalah cara lain untuk meningkatkan ekonomi bukan merugikan.
"Dalam malapetaka yang berkembang saat ini, saya percaya ada peluang luar biasa. Tidak hanya untuk AS tetapi untuk kita semua," katanya lagi.
Baca Juga:
Buka Indonesia International Sustainability Forum 2024, Presiden Jokowi Sampaikan Strategi Penanganan Perubahan Iklim
Ia menjanjikan akan ada tindakan nyata yang dilakukan AS. Bukan kata-kata semata.
"AS tidak hanya kembali ke meja tetapi mudah-mudahan memimpin dengan contoh .. Itulah mengapa pemerintahan saya bekerja lembur," katanya.
"Perubahan iklim sudah melanda dunia... Kita memiliki kemampuan berinvestasi dengan diri kita sendiri dan membangun energi bersih yang adil dan dengan prosesnya menciptakan jutaan pekerjaan dan peluang gaji bagi seluruh dunia."
Sebelumnya, Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) mengatakan upaya seluruh dunia, termasuk negara kaya, diperlukan untuk mengatasi krisis iklim. Terutama membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan ini.
Menurut UNCTAD, biaya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim di negara berkembang dapat mencapai US$ 300 miliar pada tahun 2030. Dan, jika target mitigasi tidak terpenuhi, hingga US$ 500 miliar pada tahun 2050.
Namun, tingkat pendanaan saat ini kurang dari seperempat dari jumlah yang diperkirakan untuk tahun 2030. Laporan tersebut memperingatkan jika mengandalkan keuangan swasta, program ini tidak akan melayani negara-negara yang paling membutuhkannya.
UNCTAD juga menyerukan penghapusan utang dan restrukturisasi untuk negara-negara berkembang dan untuk meningkatkan ketersediaan modal bagi bank-bank pembangunan multilateral.
Ekonom PBB mengatakan modal ini dapat dibiayai oleh obligasi hijau atau dengan realokasi subsidi dari bahan bakar fosil. Menurut PBB, kerugian ekonomi akibat bencana iklim secara proporsional tiga kali lebih buruk di negara-negara berkembang daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi. [rin]