WahanaNews.co | Pemerintah Rusia dilaporkan telah menguras sekitar US$ 20 miliar atau setara Rp 288 triliun per harinya dalam serangan ke Ukraina.
Hal ini diungkapkan oleh lembaga riset Centre for Economic Recovery yang dibantu dua konsultan bisnis, Civitta dan EasyBusiness.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Dalam laman resminya, kerugian ini dinilai dari berapa jumlah alutsista Rusia yang hancur dan juga biaya mobilisasi alat-alat tempur tersebut. Sementara itu, untuk nilai kerugian dari korban jiwa, lembaga itu memetakannya dengan membuat proyeksi hilangnya PDB dari korban ini.
"Skala mobilisasi, termasuk logistik, personel, amunisi, bahan bakar, peluncuran roket, dan sebagainya akan menghabiskan lebih banyak uang setiap hari. Akibatnya, menurut para peneliti, biaya perang harian untuk Rusia kemungkinan akan melebihi US$ 20 miliar seiring dengan skala invasi," papar hasil studi lembaga itu dikutip Consultancy.eu dikutip Jumat (13/3/2022).
Secara rinci, lembaga itu menuliskan data mengenai alutsista yang hancur selama 5 hari pertama serangan. Dalam data itu, Moskow disebut kehilangan 29 jet tempur, 29 helikopter, dan 75 unit senjata artileri.
Baca Juga:
3 Negara Ini Melarang Warganya Tersenyum kepada Orang Lain, Kok Bisa?
Dari segi kendaraan lapis baja, Rusia disebut-sebut kehilangan 191 tank dan 816 mobil armor lapis baja. Untuk korban jiwa personil, lembaga itu memprediksi ada 518 tentara Rusia yang tewas selama serangan.
"Kerugian langsung dari perang saja, termasuk peralatan militer yang dilikuidasi dan korban di antara personel dalam 5 hari pertama, telah merugikan Rusia sekitar US$ 7 miliar. Dari jumlah ini, hilangnya nyawa manusia saja diperkirakan menyumbang US$ 2,7 miliar dalam PDB yang hilang selama beberapa tahun mendatang."
Tak hanya itu, riset ini juga menyebutkan mengenai kerugian Rusia lainnya pasca sanksi yang dijatuhkan beberapa negara. Ini terkait dengan kerugian ekonomi negara itu yang nantinya dapat memicu inflasi yang cukup tajam.
"Perusahaan Rusia dengan cepat kehilangan kapitalisasi pasar, dan dengan pembatasan baru pada perdagangan obligasi pemerintah dan pembekuan aset bank sentral, menjadi sangat sulit bagi otoritas Rusia untuk menjaga stabilitas makro dan membayarkan utang negara," tambah lembaga itu. [qnt]