WahanaNews.co, Jakarta - Selama beberapa minggu terakhir, kedatangan ribuan pengungsi Rohingya di pantai Aceh jadi sorotan.
Menurut Ahmad Marzuki, yang bertanggung jawab atas urusan Gubernur Aceh, pengungsi tersebut saat ini ditempatkan di lokasi penampungan di daerah Pidie, Sabang, dan Lhokseumawe.
Baca Juga:
Imigrasi Meulaboh Catat 152 Pengungsi Rohingya Ditampung di Aceh Selatan
UNHCR mencatat total pengungsi yang berada di Aceh hingga pertengahan Desember mencapai 1.608 jiwa, termasuk 140 orang yang bertahan dalam satu tahun terakhir.
Gelombang kedatangan orang Rohingya ke Aceh diwarnai sentimen negatif warganet Indonesia. Bahkan, narasi kebencian dan hoaks soal Rohingya marak beredar di media sosial.
Kedatangan para pengungsi Rohingya ke Indonesia tak terlepas dari konflik etnis yang sedang berlangsung di Myanmar.
Baca Juga:
Polres Subulussalam Berhasil Amankan Tiga Orang Terduga Pelaku TPPO Rohingya
Mereka melarikan diri dari negara tersebut dengan harapan menemukan tempat aman untuk bertahan hidup dan memperbaiki kondisi kehidupan mereka.
Sejarah konflik Rohingya berakar dari Arakan Utara, yang mencakup kota-kota Maungdaw dan Buthidaung. Sejak akhir abad ke-18, wilayah ini telah menjadi saksi berbagai kerusuhan dan gelombang pengungsi.
Ribuan warga Rohingya mengungsi ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Bangladesh dalam empat periode berbeda, yakni akhir abad ke-1700-an dan awal abad ke-1800-an, tahun 1940-an, tahun 1978, dan terakhir pada tahun 1991 dan 1992, seperti yang dilaporkan oleh Human Rights Watch.
Peningkatan tajam dalam jumlah pengungsi disebabkan oleh perselisihan etnis dan agama, yang dipicu oleh konflik yang lebih luas.
Selama periode lebih dari 100 tahun saat Inggris menguasai Burma, yang sekarang dikenal sebagai Myanmar (1824-1928), terjadi migrasi besar-besaran ke negara tersebut dari India dan Bangladesh.
Respon negatif terhadap migrasi pengungsi Rohingya muncul dari penduduk asli Myanmar.
Setelah Myanmar meraih kemerdekaan, migrasi yang terjadi selama pemerintahan Inggris dianggap ilegal, sehingga pemberian kewarganegaraan kepada Rohingya ditolak oleh pemerintah setempat, seperti yang dilaporkan oleh Al Jazeera.
Hal ini membuat sebagian besar umat Buddha mengidentifikasi Rohingya sebagai orang Bengali dan menolak menggunakan istilah "Rohingya" dengan alasan politis.
Sebentar setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1948, Myanmar mengesahkan undang-undang kewarganegaraan yang menolak memberikan kewarganegaraan kepada orang Rohingya, membuat mereka menjadi tanpa kewarganegaraan.
Undang-undang tersebut mengklasifikasikan kewarganegaraan menjadi tiga tingkatan, dengan persyaratan utama melibatkan memiliki bukti lahir di Myanmar sebelum tahun 1948 dan kefasihan dalam salah satu bahasa nasional.
Ketidakmampuan warga Rohingya untuk memenuhi persyaratan ini semakin memperburuk situasinya.
Selama beberapa dekade, warga Rohingya terus menderita kekerasan, penganiayaan, dan diskriminasi. Mereka menghadapi pembatasan dalam hak pendidikan, pekerjaan, perjalanan, praktik keagamaan, dan akses ke layanan kesehatan.
Sejak tahun 1970-an, serangkaian tindakan keras terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang untuk mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Pada tanggal 25 Agustus 2017, pasukan keamanan Myanmar memulai serangkaian kekerasan sistematis terhadap penduduk Rohingya di wilayah utara Negara Bagian Rakhine, seperti yang dikutip oleh Save The Children.
Dalam jangka waktu dua minggu, hampir 300.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sebagai respons terhadap laporan yang mengejutkan mengenai pembunuhan massal yang melibatkan ratusan orang, termasuk anak-anak.
Sesaat setelahnya, 700.000 warga Rohingya, di mana setengahnya adalah anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menuju Bangladesh.
Cox's Bazar, sebuah distrik di Bangladesh yang berdekatan dengan perbatasan Myanmar, menjadi penuh dengan pengungsi yang terpaksa tidur di lantai dan di jalan.
Keadaan pengungsi Rohingya semakin memprihatinkan karena kekurangan sumber makanan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak.
Risiko eksploitasi, kekerasan, dan perdagangan manusia terus menghantui mereka.
Kelompok etnis Rohingya saat ini berjumlah sekitar 1,1 juta orang dan tersebar di berbagai negara di Asia Tenggara.
Banyak dari mereka bahkan harus melakukan perjalanan berhari-hari melalui hutan dan laut yang berbahaya untuk mencari tempat penampungan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]