WahanaNews.co | Sebagai
persiapan menghadapi skenario terpahit pandemi virus corona menjelang pada
Desember mendatang, para miliarder di dunia menyiapkan uang tunai dalam bentuk
lembaran kertas hingga miliaran dolar.
Kekhawatiran itu sangat masuk akal, karena vaksin yang efektif
memang belum tersedia sehingga munculnya gelombang kedua dan ketiga semakin di
depan mata.
Baca Juga:
5 Negara dengan Miliarder Terbanyak di Dunia
Tren menumpuk uang tunai itu juga dilakukan miliarder
Jepang, Masayoshi Son, CEO SoftBank. Dia mengaku pesimistis dengan pandemi
gelombang kedua dan ketiga yang sedang terjadi di seluruh dunia. "Dalam dua
hingga tiga bulan mendatang, bencana bisa terjadi," kata Son dalam konferensi
Dealbook The New York Times yang digelar virtual.
SoftBank untuk mengumumkan penjualan aset pada awal tahun
untuk menyeimbangkan neraca saat pandemi mengguncang ekonomi global. Awalnya,
SoftBank akan menjual aset senilai USD41 miliar, tetapi akhirnya
menggandakannya.
"Untuk pertama kali dalam sejarah kita melikuidasi banyak
aset secepat mungkin," kata Son, dilansir CNN. Sebelum distribusi vaksin corona
tersedia, menurut dia, banyak perusahaan akan bangkrut dan menyebabkan efek
domino dengan industri terkait.
Baca Juga:
Pria Israel Ngutang Rp 14 T Demi Kemewahan, Begini Kondisinya Sekarang
"Untuk menghadapi skenario buruk, kenapa kita memilih lebih
dari USD80 miliar tunai di tangan kita," paparnya.
Son menjelaskan, investasi paling menawan saat ini pandemi
dan ke depannya adalah fokus pada perusahaan yang mengembangkan revolusi
kecerdasan buatan. Dia menyebut, perusahaan seperti Google, Amazon, Facebook,
dan Apple merupakan pemain utama pada revolusi tersebut. "Apakah itu unicorn,
publik atau swasta, itu tidak masalah. Saya hanya ingin bertaruh untuk revolusi
kecerdasan buatan," tutur Son.
Apa yang dilakukan Son memang sudah terbukti. Sekitar 20
tahun lalu, Son menginvestasikan USD20 juta di Alibaba dan kini sudah menjadi
perusahaan e-commerce dengan nilai USD60 miliar pada 2014. Namun, dia juga
pernah gagal miliaran dolar ketika berinvestasi pada WeWork. "Itu juga
kesalahan saya," kata Son.
Pada saat Son sudah menyiapkan uang tunai, sekelompok miliarder
di Amerika Serikat (AS) juga memilih menyiapkan uang tunai karena khawatir
terjadi krisis yang berkepanjangan.
Tiger 21, sebuah klub yang terdiri atas 800 investor,
menyatakan anggotanya telah memegang 19% dari total aset secara tunai. Mereka
takut ketika krisis ekonomi akan melanda AS. Mereka meyakini krisis pandemi
corona akan berlangsung hingga Juni tahun depan.
"Permintaan uang tunai menjadi hal luar biasa. Secara
statistik, telah terjadi perubahan alokasi aset pada Tiger 21," kata Michael Sonnenfeldt,
ketua klub Tiger 21, di mana anggotanya memiliki aset lebih dari 100 juta. "Itu
dilakukan para miliarder untuk mendapatkan likuiditas dan menyiapkan dana tunai
karena cuaca menunjukkan adanya badai," imbuhnya.
Dengan jumlah korban meninggal akibat virus corona di AS
sudah mencapai 250.000, maka AS menjadi negara yang paling terdampak serius
akibat pandemi tersebut. Itu juga menyebabkan krisis ekonomi dan peningkatan
pengangguran hingga jutaan orang. Ekonom sudah memperingatkan AS harus menyediakan
USD1 triliun hingga USD2 triliun untuk bantuan keuangan bagi warga AS.
Melansir Bloomberg, bukan hanya miliarder, korporasi di AS
juga meningkatkan uang tunai selama mereka bisa menyimpannya. Korporasi juga
berharap banyak kepada Presiden terpilih AS Joe Biden untuk mengubah peraturan
ekonomi dan menunda kenaikan panjang.
Apalagi, Biden juga telah memperingatkan tentang "dark
winter" di mana kasus virus corona akan meningkat beberapa bulan sebelum vaksin
tersedia bagi publik.
"Korporasi saat ini fokus memperkuat keseimbangan neraca dan
meningkatkan likuiditas dunia," kata Nicholas Elfner, pemimpin firma riset
Breckinridge Capital Advisors. "Pintunya terbuka, cepat ambil untung sebelum
Covid Winter," ujarnya.
Selain itu, banyak perusahaan juga tidak menjual obligasi
untuk membayar utang mereka. Seperti Continenal Resources dan Antero Midstream
yang memilih meningkatkan penawaran obligasi untuk membayar kembali utang
mereka. Produsen minyak Continental menawarkan obligasi hingga USD1,5 miliar.
Hal sama juga dilakukan Tervita, perusahaan Kanada menyediakan obligasi senilai
USD500 juta.
"Ke depannya, semakin banyak perusahaan menjual obligasi
untuk mengatasi krisis keuangan sebagai dampak Covid-19," kata Jerry Cudzil,
kepala perdagangan kredit TCW Group. "Banyak perusahaan mengakses pasar modal
dibandingkan sebelum Covid-19," imbuhnya.
Banyak perusahaan kapal pesiar juga terkena dampak corona.
Carnival, perusahaan kapal pesiar terbesar di dunia, mengajukan penjualan
USD1,5 miliar pada sahamnya. Perusahaan kapal pesiar Norwegia, Cruise Line
Holdings akan mengambil kesempatan dengan menjual saham untuk mendapatkan uang
tunai. "Kita perlu mendapatkan uang dari pasar ekuitas," kata CEO Cruise Line
Holdings, Mark Kempa.
American Airlines juga menjual saham senilai USD500 juta
untuk memperkuat likuiditas. Hal sama juga dilakukan jaringan bioskop, AMC
Entertainment Holdings juga mencoba bertahan dengan menawarkan USD20 juta
sahamnya. Banyak perusahaan yang terdampak pandemi ingin menggaet lebih banyak
investor.
"Banyak perusahaan perawatan kesehatan dan teknologi ingin
melihat cahaya di akhir terowongan," kata Santosh Sreenivasan, kepala JPMorgan
Chase & Co"s. "Mereka ingin mengambil uang yang atraktif," imbuhnya. [qnt]