WahanaNews.co | Mantap, hanya Indonesia yang mampu.
Di tengah konflik mereka dengan Ukraina, Presiden Rusia, Vladimir Putin, dikabarkan akan datang ke Indonesia.
Baca Juga:
Prabowo Tegaskan Komitmen Indonesia pada Pembangunan Berkelanjutan dan Transisi Energi
Putin datang ke Indonesia tentu saja atas dasar undangan dari pemerintah Indonesia.
Tak main-main, Putin nantinya tidak akan seorang diri.
Akan ada beberapa pemimpin negara lain yang juga hadir ke Indonesia.
Baca Juga:
Prabowo Ungkap RI Pindahkan Ibu Kota Karena Naiknya Permukaan Laut Naik Tiap Tahun
Maka, tidak akan menutup kemungkinan, Indonesia mampu menghadirkan dua pemimpin negara yang sedang diliputi peperangan, yakni Presiden Rusia dan juga Presiden Ukraina.
Soal rencana Putin akan mendatangi Indonesia sesuai dengan undangan, disampaikan oleh Duta Besar Rusia.
Disebutkan kalau undangan sudah sampai di tangan Putin dan orang nomor satu di Rusia itu berniat untuk mendatangi Indonesia.
Ya, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobiev, mengatakan soal kepastian kedatangan Presiden Vladimir Putin.
Dubes Rusia untuk Indonesia itu mengatakan bahwa undangan telah diserahkan, dan “Presiden Putin berniat menghadiri G20 Summit.”
Tanpa Libatkan Rusia, Sulit Cari Solusi
Lyudmila Vorobiev menilai kebijakan “Negara Barat” untuk mengisolasi dan mengeluarkan Rusia tak hanya dari G20 tapi juga forum internasional, merupakan tindakan yang tidak logis.
Pasalnya, akan sulit menyelesaikan berbagai isu ekonomi dunia saat ini tanpa melibatkan Rusia sebagai salah satu pemain penting di dalamnya.
“Kebijakan barat (sanksi) hanya seolah-olah mengeklusi Rusia, tapi nyatanya itu tidak serta merta membuat Rusia lenyap. Bagaimana itu bisa membantu menyelesaikan krisis?” ujar Vorobiev dalam wawancara eksklusif bersama bertajuk Unlocking Podcast 05 - Lyudmila Vorobieva: G20 Should Focus on Global Economic Issues.
Seruan aksi boikot disadari merupakan keputusan masing-masing negara, namun Vorobiev tetap berharap hal itu tak perlu dilakukan.
Jika protes itu dilakukan pun, kata dia, G20 tetap akan menjadi forum yang relevan karena kebanyakan negara anggotanya secara positif mendukung agenda tahun ini.
Rusia mengapresiasi posisi pemerintah Indonesia yang menegaskan bahwa G20 harus fokus pada masalah ekonomi global yang sangat penting untuk seluruh dunia.
Isu politik yang tidak relevan dinilai tidak seharusnya diseret dalam agenda G20, karena bisa memecah dan mengalihkan perhatian dari masalah utama krisis global.
“Kami mendukung prioritas yang telah diidentifikasi oleh presiden Indonesia di G20, terutama untuk pemulihan ekonomi global setelah Pandemi Covid-19, penguatan sistem kesehatan, transisi energi dan transisi digital.”
“Indonesia mewakili opini dari negara berkembang yang harus didengar dan dipertimbangkan oleh negara maju. Dan tentunya semua negara harus berpartisipasi untuk memecahkan masalah global.”
Masalah di Ukraina versi Rusia
Vorobiev kembali menekankan bahwa Rusia dan Ukraina adalah saudara yang memiliki banyak kerabat dekat satu sama lain.
Sementara apa yang terjadi saat ini, diklaim tidak sebagai tindakan yang tak dapat dihindari setelah usaha 8 tahun meredam konflik gagal menemukan jalan keluar.
Dia menuduh pemerintah Kyiv mulai menerapkan kebijakan anti-Rusia setelah kudeta 2014.
Sementera Luhansk, Donetsk dan Krimea, yang banyak warganya berbahasa Rusia, menolak kebijakan tersebut.
“Penolakan muncul di wilayah tersebut, dan alih-lih menggunakan langkah damai untuk menyelesaikan masalah ini, Kyiv memulai perang sipil terhadap populasinya sendiri selama 8 tahun, 14.000 meninggal dan tidak ada negara Barat yang keberatan,” kata dia.
Negara-negara barat menurutnya tidak berbuat apa-apa dan justru mendorong proyek anti-Rusia di Ukraina dan menggunakan negara terluas di Eropa itu sebagai instrumen untuk menentang Rusia.
“Barat tidak ingin menyerang Rusia secara langsung, tapi mereka menggunakan Ukraina dan ini tragedi,” ujarnya.
“Kenapa barat ingin mengonfrontasi Rusia? Alasannya sederhana, karena kami tidak setuju hanya negara Barat yang mendominasi dunia. Kami tidak setuju jika hanya kelompok kecil negara di dunia yang memiliki hak untuk memberitahu seluruh dunia apa yang harus dilakukan dan bagaimana mereka harus hidup,” tambahnya.
Lebih lanjut menurutnya, negara-negara Barat telah secara agresif mempromosikan nilai-nilainya, seperti isu LGBT.
Rusia juga menolak penggunaan isu hak asasi manusia sebagai senjata untuk mencampuri urusan domestik negara lain.
“Tentu hak asasi manusia penting, tapi negara lain memiliki kultur dan tradisinya sendiri yang harus dipertimbangkan. Tidak ada satu standar unggul/utama dari demokrasi di dunia.”
Akan sangat berbahaya menurutnya jika satu pihak menyatakan ”standar utama/unggul dari demokrasi”.
Hal itu dinilai akan membuat negara/pihak lain mau tak mau bisa didorong untuk mengikutinya, bahkan jika perlu dengan pengerahan kekerasaan senjata.
Vorobiev mencontohkan kasus Yugoslavia, Libya, hingga Irak, dan mempertanyakan mengapa kemana reaksi keras dari negara-negara lain saat itu.
“Saya tidak mengatakan aksi militer adalah yang terbaik. Tapi kami tidak memiliki opsi lain karena keamanan negara kami terancam, sementara orang-orang di Luhansk dan Donetsk mati tiap hari, padahal kami sudah mencoba mencari penyelesaian selama 8 tahun,” tandasnya. [gun]