WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah ketegangan nuklir yang terus meningkat antara Amerika Serikat dan Iran, perhatian dunia tertuju pada sebuah titik strategis yang jarang disebut dalam percakapan geopolitik Timur Tengah: Diego Garcia.
Pulau kecil di Samudra Hindia ini, meski hanya berukuran 10 x 20 kilometer, memainkan peran vital dalam proyeksi kekuatan militer global AS.
Baca Juga:
Trump Bela Diri Soal Hadiah Jet Mewah Qatar: Bodoh Jika Menolak!
Terletak hanya 2.877 kilometer dari Pulau Sumatera dan sekitar 700 kilometer di selatan Maladewa, Diego Garcia selama puluhan tahun telah menjadi pangkalan militer bersama AS-Inggris yang digunakan untuk operasi tempur jarak jauh, termasuk di Timur Tengah dan Indo-Pasifik.
Data citra satelit dari Planet Labs mengonfirmasi keberadaan tiga pesawat pengebom B-2, pesawat siluman berteknologi tinggi milik AS, di landasan Diego Garcia pada Maret lalu.
Pesawat ini dirancang untuk menghindari sistem pertahanan udara sekaligus melancarkan serangan presisi.
Baca Juga:
Tarif Dagang AS-China Melunak, Rantai Pasok Global Bernapas Lega
Profesor John Rees, analis pertahanan di London School of Economics, mengatakan bahwa Diego Garcia ibarat "bidak tersembunyi dalam catur geopolitik AS."
Ia menambahkan, "Jaraknya yang cukup dekat dengan kawasan konflik memungkinkan AS menekan musuh tanpa terlalu bergantung pada izin dari negara-negara Teluk."
Jejak Sejarah dan Kontroversi di Balik Pangkalan
Keberadaan AS di Diego Garcia berakar pada strategi kolonial Inggris di penghujung era kekaisaran. Pada tahun 1960-an, Inggris memilih mempertahankan titik-titik strategis setelah membubarkan koloninya.
Di Mediterania Timur, mereka membangun pangkalan di Siprus. Di Samudra Hindia, mereka membeli Kepulauan Chagos, termasuk Diego Garcia, dari Mauritius hanya seharga £3 juta.
Namun, pembentukan pangkalan militer ini tidak lepas dari pelanggaran hak asasi manusia. Sekitar 1.500 warga asli Chagos secara paksa dipindahkan ke permukiman miskin di Mauritius dan Seychelles tanpa kompensasi.
Pada 1966, London menandatangani kesepakatan rahasia dengan Washington: AS memperoleh hak sewa selama 50 tahun dengan opsi perpanjangan 20 tahun, sebagai imbalan atas akses Inggris terhadap rudal balistik Amerika dengan harga diskon.
Pusat Operasi Militer Jarak Jauh
Diego Garcia menjadi kunci dalam operasi militer AS, terutama saat negara-negara Teluk membatasi penggunaan pangkalan mereka.
Pada akhir 1990-an, ketika Arab Saudi menolak memberikan izin peluncuran jet tempur untuk menyerang Irak, Pentagon meluncurkan misi dari Diego Garcia dengan pesawat B-52.
Selama "Perang Melawan Teror", Diego Garcia berfungsi sebagai titik pengisian bahan bakar dan peluncuran serangan ke Irak dan Afghanistan.
Hingga hari ini, negara-negara Teluk memberlakukan pembatasan ketat terhadap penggunaan wilayah udara mereka, terutama dalam konflik yang melibatkan Iran atau kelompok yang berafiliasi dengannya seperti Houthi di Yaman.
“Keberadaan Diego Garcia memberi AS fleksibilitas strategis tanpa risiko diplomatik yang dihadapi bila menggunakan pangkalan di negara-negara sekutunya di Timur Tengah,” ujar Dr. Samira Qureshi, pakar kebijakan luar negeri dari King’s College London.
Persiapan untuk Tekanan Terhadap Iran
Kedatangan pesawat B-2 di Diego Garcia dipandang banyak analis sebagai sinyal serius terhadap Teheran. B-2 mampu membawa Massive Ordnance Penetrators seberat 30.000 pon, bom penghancur bunker yang dirancang untuk menembus fasilitas nuklir bawah tanah Iran.
Dengan jarak sekitar 4.000 km dari Yaman dan 5.300 km dari Iran, pangkalan ini berada dalam jangkauan tempur yang aman bagi B-2, mengingat jangkauan terbangnya dapat mencapai 11.000 km dengan pengisian bahan bakar.
Ketika ditanya wartawan tentang Iran, Presiden Donald Trump menyatakan, “Preferensi saya adalah menyelesaikannya dengan Iran. Tapi jika tidak, hal-hal buruk akan terjadi pada mereka.”
Pernyataan itu datang sehari setelah Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyebut bahwa negaranya telah merespons surat dari Trump lewat perantara Oman, tetapi menolak bernegosiasi langsung di bawah tekanan militer.
Axios sebelumnya melaporkan bahwa surat Trump menetapkan batas waktu dua bulan untuk dimulainya perundingan, atau AS akan mempertimbangkan opsi militer.
Sementara Inggris telah menyatakan kesediaannya untuk mengembalikan Kepulauan Chagos ke Mauritius, kesepakatan tersebut belum ditandatangani dan masih mendapat tentangan dari kalangan konservatif AS.
Status Diego Garcia pun kini berada di antara kepentingan geopolitik dan tuntutan hukum internasional.
Dr. Muhammad Faris, peneliti geopolitik dari Universitas Leiden, memperingatkan bahwa “penggunaan Diego Garcia dalam konflik besar berisiko memperuncing perdebatan global tentang legalitas pangkalan militer di wilayah sengketa serta memicu tekanan diplomatik dari negara-negara berkembang.”
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]