WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah reruntuhan Gaza dan ketakutan yang tak kunjung usai, komunitas Kristen di sana kehilangan bukan hanya seorang pemimpin agama, tetapi juga seorang sahabat sejati.
Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang wafat pada Senin pagi (21/4/2025), dikenang sebagai pelita di tengah gelapnya perang yang menghancurkan wilayah mereka sejak 2023.
Baca Juga:
Paus Baru Tak Digaji, Vatikan Tanggung Semua Kebutuhan
Masyarakat Kristen Gaza menyampaikan duka mendalam atas wafatnya Paus, yang bagi mereka bukan hanya tokoh agama, melainkan pribadi penuh kasih yang hadir setiap malam lewat panggilan telepon—menyapa, menguatkan, dan memberi harapan di tengah kecemasan.
“Kami sungguh kehilangan seorang Santo. Beliau mengajarkan bagaimana tetap berdiri dengan keberanian, ketabahan, dan kekuatan,” ungkap George Antone (44), ketua komite darurat di Gereja Keluarga Kudus, Gaza, kepada Reuters.
Antone mengisahkan bahwa sejak pecahnya konflik Gaza pada 7 Oktober 2023, Paus Fransiskus secara konsisten menelepon mereka setiap malam.
Baca Juga:
Dimulai, Begini Cara Pemilihan Paus pada Konklav 7 Mei 2025
“Beliau tidak hanya berbicara dengan pastor. Siapa pun yang ada, bahkan relawan dan jemaat, disapa dan dikuatkan oleh beliau,” kenangnya.
Antone juga menambahkan, “Beliau biasa berkata pada kami, satu demi satu: ‘Aku bersamamu, jangan takut.’ Kalimat itu menguatkan kami lebih dari apa pun. Kami merasa diperhatikan, dikenal, dan dicintai.”
Romo Gabriel Romanelli, Pastor Gereja Keluarga Kudus, membenarkan bahwa panggilan terakhir dari Paus terjadi pada Sabtu malam (19/4/2025), hanya beberapa jam sebelum beliau berpulang.
“Dalam percakapan terakhir itu, beliau mendoakan kami, memberi berkat, dan berterima kasih atas doa-doa kami. Beliau tetap tenang dan penuh cinta, meskipun suaranya sangat lemah,” ujar Romo Romanelli kepada Vatican News.
Dalam penampilan publik terakhirnya di Hari Paskah, Paus Fransiskus menyerukan gencatan senjata di Gaza, mendesak pembebasan para sandera, dan menyerukan pengiriman bantuan kemanusiaan kepada warga yang kelaparan.
Pesan tersebut dibacakan ajudannya karena kondisi fisik Paus yang sudah sangat lemah.
“Rakyat Gaza berhak atas masa depan yang damai,” demikian isi pesan terakhir beliau kepada dunia.
Kesedihan juga dirasakan umat Kristen di berbagai penjuru Timur Tengah.
Di Yerusalem, Pastor Stephane Milovitch dari Gereja Makam Kudus menyatakan harapannya bahwa penerus Paus Fransiskus akan melanjutkan komitmennya terhadap perdamaian.
“Beliau adalah suara damai di tanah yang penuh kekerasan dan konflik,” katanya dengan lirih.
Di Lebanon, negara yang pada tahun sebelumnya dilanda konflik besar antara Hizbullah dan Israel, umat Katolik Maronit mengenang Paus sebagai figur yang selalu hadir dalam doa dan perhatian.
“Beliau membawa Lebanon dan seluruh Timur Tengah di dalam hatinya,” kata seorang pastor di Rmeish, kota kecil yang pernah luluh lantak akibat perang.
Marie-Jo Dib, seorang pekerja sosial di Lebanon, menambahkan dengan penuh emosi, “Paus Fransiskus seperti pemberontak spiritual yang penuh cinta. Kami berharap penggantinya memiliki semangat sekuat itu.”
Kiprah Paus Fransiskus dalam membangun jembatan antaragama dan kepeduliannya terhadap komunitas Kristen minoritas di zona konflik telah menjadi warisan tak ternilai.
Pada tahun 2021, ia mengunjungi Irak dan berdiri di tengah puing-puing Mosul -- bekas markas ISIS -- untuk menyerukan rekonsiliasi dan damai.
Di Suriah, Uskup Agung Antiba Nicolas menggambarkan Paus Fransiskus sebagai “sahabat sejati rakyat Suriah.”
“Setiap kali berbicara tentang Suriah, beliau selalu menyebutnya ‘Syria tercinta’,” ungkap Nicolas. “Beliau adalah suara kami yang lantang di tengah dunia yang sering tak mendengar.”
Kini, suara itu telah terdiam. Namun gema kasihnya tetap hidup di hati mereka yang pernah disentuhnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]