WahanaNews.co | Pemerintah Australia telah menyeru kepada China agar berbuat lebih banyak untuk mengisolasi Rusia setelah negara tersebut menginvasi Ukraina.
China juga didorong menerapkan rangkaian sanksi serupa seperti yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mengritik China yang baru-baru ini membeli lebih banyak gandum dari Rusia.
Menurutnya, tindakan itu justru membuat Rusia mendapat "pertolongan ekonomi".
Lantas, sejauh apa China bisa membantu Rusia di bidang ekonomi?
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Apakah Rangkaian Sanksi Pengaruhi Perdagangan?
China menegaskan bahwa mereka akan "melanjutkan kerja sama perdagangan secara normal" dengan Rusia.
Namun, sejumlah bank Rusia telah dicoret dari sistem pembayaran internasional, yaitu Swift.
Sistem ini digunakan di seluruh dunia dalam transaksi keuangan sehingga pembayaran ekspor akan lebih sulit.
Konsekuensinya, baru-baru ini China mengurangi pembelian barang dari Rusia karena kalangan pedagang kesusahan melakukan transaksi keuangan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara telah berupaya mengembangkan sistem pembayaran alternatif guna mengurangi ketergantungan pada sistem berbasis dollar AS seperti Swift.
Rusia punya System for Transfer of Financial Messages (STFM), sedangkan China punya Cross-Border Interbank Payment System (CIPS).
Kedua sistem ini beroperasi menggunakan mata uang masing-masing.
Sebuah kajian yang dipublikasikan lembaga Carnegie Moscow Center menilai sistem pembayaran ini "bukanlah alternatif dari Swift".
Pada 2021, hanya satu bank China yang bergabung dengan STFM.
Adapun bank-bank Rusia dan institusi keuangan global cukup banyak yang terhubung dengan sistem CIPS buatan China.
Saat ini, hanya sekitar 17% volume perdagangan antara Rusia dan China menggunakan mata uang yuan (naik dari 3,1% pada 2014), menurut sejumlah laporan media yang mengutip data statistik resmi pemerintah Rusia.
Perdagangan sektor energi antara kedua negara sebagian besar dilakukan menggunakan dollar AS, walau penggunaan yuan meningkat.
Seberapa Banyak Rusia Berdagang dengan China?
Perdagangan kedua negara terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Nilainya menyentuh hampir US$ 147 miliar tahun lalu --naik hampir 36% dari tahun sebelumnya-- dan mencapai sekitar 18% dari keseluruhan nilai perdagangan Rusia pada 2021.
Saat Presiden Vladimir Putin berkunjung ke Beijing bulan lalu, kedua negara berkomitmen untuk meningkatkan nilai perdagangan mereka hingga mencapai US$ 250 miliar pada 2024.
Komitmen tersebut diwujudkan oleh pemerintah China baru-baru ini.
Badan Bea Cukai China mengumumkan pencabutan semua hambatan terhadap impor gandum dan barley dari Rusia pada hari serangan ke Ukraina dimulai.
Padahal sebelumnya China menerapkan hambatan impor gandum dari beberapa daerah di Rusia karena kekhawatiran membawa penyakit.
Tahun lalu, China adalah pembeli gandum terbesar keempat serta pembeli barley terbesar di dunia.
Adapun Rusia adalah salah satu produsen utama kedua komoditas itu.
Selain membeli produk-produk pertanian, China saat ini adalah pasar terbesar bagi ekspor energi dari Rusia, seperti minyak, gas, dan batu bara.
Bahkan, China adalah pembeli terbesar batu bara Rusia.
Sepekan sebelum invasi ke Ukraina, China dan Rusia menyepakati perjanjian batu bara yang baru senilai lebih dari US$ 20 miliar.
Sejauh ini, Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar bagi Rusia.
Pada 2021, nilai total perdagangan antara Rusia dan Uni Eropa hampir dua kali lipat lebih besar dari nilai perdagangan antara China dan Rusia.
Hal itu bisa berubah seiring dengan invasi ke Ukraina, menurut ekonom perdagangan, Dr Rebecca Harding.
"Tidak terhindarkan bahwa perdagangan UE-Rusia surut akibat rangkaian sanksi. Krisis saat ini menajamkan fokus di dalam UE mengenai perlunya mendiversifikasi suplai," paparnya.
Nilai perdagangan Rusia dan AS jauh lebih kecil.
Dapatkah China Beli Lebih Banyak Komoditas Energi Rusia?
Ekonomi Rusia sangat bertumpu pada ekspor minyak dan gas.
Namun, rangkaian sanksi terhadap Rusia sejauh ini belum menyasar ke sektor tersebut.
Tahun lalu, Rusia adalah pemasok minyak terbesar kedua dan pemasok gas terbesar ketiga bagi China.
Nilai ekspor kedua komoditas itu masing-masing mencapai US$ 41,1 miliar dan US$ 4,3 miliar, menurut berbagai laporan media.
Kesepakatan baru dengan China yang baru-baru diumumkan Presiden Vladimir Putin diperkirakan bernilai US$ 117,5 miliar.
Akan tetapi, pasar energi terbesar Rusia hingga saat ini masih Uni Eropa.
Rusia memasok 40% keperluan gas dan 26% keperluan minyak Uni Eropa.
Data terkini Badan Energi Internasional (IEA) memperlihatkan bahwa tahun lalu China hanya membeli 20% dari seluruh ekspor minyak Rusia, sedangkan mayoritasnya mengalir ke Eropa.
"Ekspor minyak dan gas Rusia [ke China] telah meningkat lebih dari 9% setiap tahun selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan ini tergolong cepat, meski demikian China hanya setengah dari besaran pasar Uni Eropa untuk minyak Rusia," kata Dr Harding.
Jerman, tujuan utama ekspor gas alam Rusia, baru-baru ini mengumumkan bakal menunda proyek perpipaan gas Nord Stream 2 guna merespons invasi Rusia ke Ukraina.
Pasokan melalui jalur pipa baru yang disepakati antara Rusia dan China (the Power of Siberia 2) hanya memasok seperlima dari kapasitas pipa Nord Stream 2, menurut sebuah analisis.
Lagipula belum jelas kapan pipa gas baru dari Siberia bakal mengalirkan gas alam ke China.
Bagaimanapun China boleh jadi ingin meningkatkan impor gas alam dari Rusia untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara demi mencapai target pemangkasan gas rumah kaca. [gun]