"Ini tidak masuk akal, pada saat yang
sama mereka menjelekkan seolah-olah pemandangan kerudung kami dapat
meradikalisasi siapa pun yang memandang kami. Mereka ingin membuat kita tidak
terlihat. Faktanya, itulah katanya: kami merasa tidak terlihat, " ungkap
dia.
Nadia, Lamya, dan Laila hanya beberapa
Muslim yang mengalami bentuk rasialisme dan Islamofobia di Prancis.
Baca Juga:
Cerita CEO Telegram Pavel Durov Diduga Miliki Empat Paspor
Menanggapi hal tersebut, ketua
organisasi interseksional feminis dan antirasialis, Lallab, yang berbasis di
Paris, Fatima Bent, mengatakan, wanita Muslim
memang selalu ditampilkan oleh film hingga politikus sebagai wanita tertindas
tanpa kehendak.
Konsepsi itu, kata dia, adalah sudut
pandang Eurosentris dan definisi pembebasan yang rasialis, seksis serta
Islamofobia.
"Argumen pelarangan jilbab tidak
ada hubungannya dengan pembebasan dan membantu wanita Muslim, ini adalah
kelanjutan dari kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi atas agama
minoritas, yang mendorong rasisme dan memperkuat stereotip," kata Fatima.
Baca Juga:
Turut Meriahkan Pra Olimpiade Paris 2024, PLN Hadirkan Reog Ponorogo di Acara Exhibition Pencak Silat
Islamofobia masih tumbuh subur di
Prancis. Padahal, berdasarkan data, nyatanya Prancis adalah rumah bagi empat
juta orang Muslim.
Jumlah itu memang menjadi populasi
terbesar di Eropa. Namun, populasi itu hanya mencapai delapan persen dari total
penduduk Prancis.
Tak hanya itu, jika menilik lebih
jauh, sepertiga tim sepakbola Prancis yang membawanya menjuarai Piala Dunia
2018 nyatanya adalah Muslim.