WAHANANEWS.CO, Jakarta - Konflik militer terbaru antara India dan Pakistan kembali mengguncang panggung geopolitik global, memicu sorotan tajam dari dunia pertahanan.
Yang menjadikan perang ini begitu menarik bukan hanya ketegangan politik antar dua negara bersenjata nuklir, melainkan juga adu gengsi kekuatan udara yang bersumber dari dua blok industri militer berbeda: Timur dan Barat.
Baca Juga:
J-10 China Bikin Rafale Tersungkur, Investor Eropa Panik Massal
Pakistan tampil mengandalkan jet tempur J-10 buatan China, sementara India menggelar kekuatan udaranya dengan Rafale buatan Prancis.
Kontras dalam pilihan alutsista ini membuka babak baru dalam uji coba nyata antara produk pertahanan Tiongkok dan Eropa di medan perang sesungguhnya.
Laboratorium Terbuka bagi Teknologi Tempur
Baca Juga:
JF-17 dan HQ-9 Beraksi di Medan Tempur, China Uji Coba Perangkat Perang Lewat Tangan Pakistan
Harian South China Morning Post dalam laporan eksklusifnya, Jumat (9/5/2025), menyebutkan bahwa bentrokan udara India-Pakistan kali ini telah menjelma menjadi “laboratorium terbuka” bagi dua kekuatan teknologi militer global. Jet tempur China, yang sebelumnya kerap diremehkan, kini menunjukkan tajinya.
Dalam insiden yang terjadi Rabu (7/5/2025), jet J-10 Pakistan dikabarkan berhasil menjatuhkan dua pesawat militer India yang menggunakan Rafale.
Klaim ini diperkuat oleh pernyataan dua pejabat pertahanan Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa J-10 telah “menyuguhkan bukti nyata efektivitas tempur dalam kondisi nyata.”
"Jika konfirmasi resmi menyusul, ini akan menjadi titik balik penting bagi industri militer China,” tulis South China Morning Post.
“Tiba saatnya dunia menyaksikan bukan hanya parade senjata, tapi bagaimana senjata itu bertarung di udara.”
Dunia Menyaksikan, Pentagon Menilai
Pemerhati militer dari berbagai negara kini memusatkan perhatian pada konflik ini. Tak hanya China, bahkan Pentagon dikabarkan memantau ketat pertempuran tersebut.
Tujuannya bukan sekadar mencatat, melainkan menilai kesiapan mereka sendiri menghadapi konflik serupa di wilayah-wilayah panas seperti Selat Taiwan atau Indo-Pasifik.
"Konflik ini menjadi semacam gladi bersih untuk persenjataan dan pilot,” ujar Douglas Barrie, peneliti senior dari International Institute for Strategic Studies.
“Komunitas militer global sedang membedah habis taktik dan teknologi yang digunakan, termasuk apa saja yang berhasil dan gagal,” sebutnya.
PL-15 vs Meteor: Duel Rudal Jarak Jauh
Pertarungan udara itu tak hanya soal pesawat. Rudal udara-ke-udara juga menjadi bahan diskusi panas, terutama PL-15 buatan China yang diduga digunakan Pakistan, dan Meteor buatan konsorsium MBDA Eropa yang diluncurkan India.
Meski belum ada konfirmasi resmi mengenai penggunaan kedua rudal tersebut, debat soal performanya sudah membara di ruang-ruang strategi.
PL-15 dikenal sebagai simbol kebangkitan teknologi misil China, dengan jangkauan disebut lebih jauh dari Meteor. Rudal ini menggunakan roket pendorong, berbeda dengan Meteor yang mengandalkan mesin ramjet "air-breathing" yang lebih efisien.
Namun, belum jelas apakah Pakistan menggunakan versi PL-15 yang sama dengan milik Angkatan Udara China atau hanya varian ekspor. Menurut beberapa sumber, Pakistan baru memperoleh versi ekspor pada 2021.
"Jika versi ekspor PL-15 saja bisa unggul, bayangkan potensi versi canggih milik China," tutur Byron Callan, analis pertahanan dari Capital Alpha Partners. “China pasti takkan menyia-nyiakan hasil evaluasi ini.”
Diamnya Eropa: Isyarat Kekhawatiran?
Sementara itu, pihak Eropa masih bungkam. Baik Dassault Aviation—produsen Rafale—maupun MBDA selaku pengembang rudal Meteor belum mengeluarkan pernyataan apa pun terkait kekalahan teknologi mereka dalam duel udara tersebut.
Kebisuan ini justru menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini bentuk kehati-hatian diplomatik, atau sinyal bahwa mereka tengah mengevaluasi serius performa produk andalannya?
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]