WahanaNews.co |
Para pengunjuk rasa anti-junta militer Myanmar membanjiri
media sosial dengan foto diri mereka mengenakan pakaian hitam-hitam pada Minggu
(13/6/2021).
Aksi tersebut mereka lakukan dalam rangka
menunjukkan solidaritas mereka untuk etnik Rohingya, sebagaimana dilansir AFP.
Baca Juga:
China Ancam Serbu Taiwan, Dampaknya Bisa Lebih Dahsyat dari Perang di Ukraina
Etnik Rohingnya merupakan kelompok minoritas
yang termasuk salah satu kelompok etnik yang paling teraniaya di Myanmar.
Sejak militer menggulingkan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi, gerakan
anti-junta menuntut kembalinya demokrasi dan memperjuangkan hak-hak etnik
minoritas.
Rohingya merupakan kelompok etnik yang sebagian
besar populasinya adalah Muslim.
Baca Juga:
Nuklir Hipersonik Baru Korea Utara 5 Kali Kecepatan Suara, Bisa Hantam Pangkalan AS Dalam Hitungan Menit
Selama beberapa dekade, etnik Rohingnya
mengalami diskriminasi seperti pembatasan hak, pembatasan kebebasan bergerak,
dan tidak diakui kewarganegaraannya.
Para aktivis dan warga sipil ramai-ramai turun
ke media sosial pada Minggu (13/6/2021), dan mengunggah foto diri mereka
mengenakan pakaian hitam-hitam.
Mereka juga menunjukkan salam perlawanan, yakni
salam tiga jari dalam unggahan mereka dengan tanda pagar (tagar) #Black4Rohingya.
"Keadilan harus ditegakkan untuk Anda dan kita
di Myanmar," kata aktivis hak asasi manusia, Thinzar Shunlei Yi, di Twitter.
Media lokal juga melaporkan adanya aksi protes
kecil di Yangon.
Para demonstran berpakaian hitam memegang
spanduk berisi dukungan terhadap etnik Rohingya.
Pada Minggu (13/6/2021) sore waktu setempat,
tagar #Black4Rohingya menjadi
trending di Twitter di Myanmar dengan
lebih dari 180.000 unggahan.
Pada 2017, kampanye militer berdarah di barat
Myanmar membuat sekitar 740.000 orang Rohingya melarikan diri dan melintasi
perbatasan ke Bangladesh.
Militer Myanmar berulangkali menjustifikasi
bahwa mereka melakukan tindakan keras untuk membasmi pemberontak.
Sebelum dilengserkan, Suu Kyi juga membela
tindakan tentara dengan melakukan perjalanan ke Den Haag untuk membantah
tuduhan genosida di pengadilan tinggi PBB.
Sebagian besar publik Myanmar sebenarnya tidak
terlalu bersimpati terhadap penderitaan Rohingya.
Sementara itu, para aktivis dan jurnalis yang
mengabarkan penderitaan Rohingnya mendapatkan caci maki yang pedas secara online.
Aktivis Rohingya terkemuka yang berbasis di
Eropa, Ro Nay San Lwin, mengatakan kepada AFP
bahwa setiap tahun digelar kampanye online
untuk meningkatkan kesadaran atas penderitaan yang dialami Rohingnya.
Dan pada Minggu (13/6/2021), San Lwin mengaku
bahwa dia baru pertama kali melihat kampanye tersebut menjadi viral di Myanmar.
"Saya sangat senang melihat orang-orang di
Myanmar bergabung dengan kampanye ini. Saya berharap lebih dapat menjalin
solidaritas yang lebih kuat dengan mereka," tutur San Lwin.
Sementara itu, pemerintah bayangan Myanmar, National Unity Government (NUG),
memperluas pengaruh mereka ke kelompok minoritas.
Mereka mengajak kelompok minoritas untuk
bersatu padu menggelar revolusi untuk menggulingkan kekuasaan junta militer.
NUG terdiri atas anggota parlemen yang
dilengserkan dan bekerja untuk menggulingkan junta militer Myanmar.
Junta militer Myanmar mengecap NUG sebagai
teroris dan pemimpin junta Min Aung Hlaing menyebut Rohingnya sebagai "istilah
imajiner". [qnt]