WahanaNews.co | Presiden Recep Tayyip Erdogan mengungkapkan, saat ini Turki sedang berperang untuk kemerdekaan ekonomi negaranya.
"Kita melihat permainan yang dimainkan oleh mereka atas mata uang, bunga dan kenaikan harga ... dan menunjukkan keinginan kita untuk melanjutkan rencana permainan kita sendiri," katanya, dikutip AFP, dikutip Sabtu (27/11/2021) lalu.
Baca Juga:
Belanda Bangkit, Menang 2-1 atas Turki di Euro 2024 Berlin
"Kita akan muncul sebagai pemenang dari 'perang kemerdekaan ekonomi' ini dengan bantuan Allah dan rakyat," tambahnya.
Demi hal ini, Erdogan mengambil kebijakan agresif dengan mendukung bank sentralnya, Türkiye Cumhuriyet Merkez Bankası (TCMB) dalam memangkas suku bunga, padahal inflasi sedang tinggi.
Asal Bapak Erdogan Senang! Tapi Turki Jadi Krisis Mata Uang
Baca Juga:
Timnas Turki Menang Melawan Georgia di Euro 2024 Skor 3-1
TCMB kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 100 basis poin menjadi 15% Kamis pekan kemarin. Akibatnya, kurs lira makin merosot melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Di bawah kepemimpinan Gubernur Sahap Kavcioglu, TCMB sudah memangkas suku bunga sebesar 400 basis poin sejak September lalu ke 15%, padahal inflasi di Turki kini nyaris 20%. Alhasil, ketika suku bunga lebih rendah dari inflasi, mata uang pun terpuruk.
Akibatnya krisis mata uang lagi-lagi melanda Turki. Kurs lira sempat jeblok lebih dari 18% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke 13,491/US$ yang merupakan level terlemah sepanjang sejarah per Selasa (25/11/2021) lali.
Kebijakan yang anti mainstream TCMB mengikuti kemauan Erdogan yang anti terhadap suku bunga tinggi. Bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga ketika inflasi tinggi, tetapi TCMB malah mengambil kebijakan sebaliknya.
Kavcioglu berpandangan suku bunga tinggi adalah "biangnya setan". Ini sesuai dengan Erdogan, sebab jika gubernur TCMB memilik pandangan yang berbeda, akan berujung pada pemecatan.
Sebelum Kavcioglu, Gubernur TCMB dijabat Naci Agbal yang menjabat hanya lima bulan saja, November 2020 hingga Maret 2021. Di bawah era Agbal, nilai tukar lira Turki sangat perkasa.
Lira sudah melemah sejak 2018 dan di rekor terlemah sepanjang sejarah pada November tahun lalu. Namun, saat Agbal mulai menaikkan suku bunga perlahan lira bangkit, hingga mencatat penguatan 24% dari rekor terendah.
Jebloknya kurs lira bisa berdampak lebih luas bagi Turki. Inflasi di Turki saat ini nyaris mencapai 20%, dengan inflasi setinggi itu, riil yield obligasi tenor 10 tahun menjadi negatif.
Hal ini tentunya tidak akan menarik bagi investor menanamkan modalnya di Turki. Yield tenor 10 tahun Turki kini paling bawah dibandingkan negara-negara emerging market lainnya.
Dengan demikian, Erdogan akan sulit mendapatkan pembiayaan dari penerbitan obligasi. Apalagi jika kurs lira terus terpuruk pada analis memperkirakan inflasi bisa mencapai 30% sementara rill yield tentunya akan semakin negatif.
Tingginya inflasi kemudian akan menurunkan daya beli masyarakat. Ini tentunya berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Tidak diambilnya kebijakan untuk menaikkan suku bunga membuat inflasi sulit didinginkan. Harga barang-barang kebutuhan pokok di negeri berpenduduk 85 juta itu terus melonjak.
Sementara gaji dengan mata uang lokal sangat terdevaluasi. Upah minimum Turki bernilai sekitar US$ 380 pada Januari dan, dengan volatilitas kemarin, gaji menyusut menjadi US$224.
Menurunnya lira juga diyakini akan memiliki dampak signifikan pada utang negeri itu. Menurut lembaga pemeringkat Fitch, pada Agustus 57% dari utang pemerintah pusat Turki terkait dengan mata uang asing atau dalam denominasi.
Ini artinya membayar utang itu akan menjadi lebih menyakitkan karena lira terus turun nilainya. Selain itu, krisis yang lebih besar dikatakan bisa muncul jika terjadi rush money. Ini adalah kondisi ketika terjadi penarikan uang besar-besaran oleh masyarakat. [rin]