WAHANANEWS.CO, Jakarta - Lebih dari 300 warga Palestina tewas hanya dalam dua hari terakhir, menjadi bukti terbaru dari eskalasi brutal di Gaza.
Di tengah kehancuran yang terus berlangsung, laporan demi laporan menunjukkan pola serangan yang menargetkan warga sipil, tempat penampungan, dan bahkan titik distribusi bantuan kemanusiaan.
Baca Juga:
Gaza Menuju Krisis Air Total: Sistem Distribusi Runtuh Akibat Blokade dan Serangan
Serangan terbaru kembali menimbulkan pertanyaan tajam tentang tujuan sebenarnya di balik operasi militer Israel dan peran kontroversial lembaga bantuan yang didukung AS dan Israel, Gaza Humanitarian Foundation (GHF).
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, dalam kurun waktu 48 jam terakhir, pasukan Israel telah melakukan 26 "pembantaian berdarah", menewaskan sedikitnya 300 warga Palestina.
Dan pada Kamis (3/7/2025) pagi, tercatat 73 orang meninggal, termasuk 33 di antaranya yang sedang mengantri bantuan di lokasi distribusi milik GHF.
Baca Juga:
Menembus Iron Dome dan THAAD, Rudal Haj Qassem Iran Jadi Mimpi Buruk Baru Israel
“Sementara 13 orang tewas ketika pasukan Israel menyerang sebuah tenda di al-Mawasi di selatan, sementara 16 orang tewas dan banyak yang terluka dalam serangan di Sekolah Mustafa Hafez, yang melindungi orang-orang terlantar di sebelah barat Kota Gaza,” ujar sumber medis kepada Al Jazeera.
Kantor Media Pemerintah Gaza menegaskan, serangan tersebut menyasar warga sipil yang berada di tempat perlindungan darurat, pusat pengungsian yang padat, rumah pribadi, pasar, hingga fasilitas sipil vital.
Bahkan warga yang tengah berjuang mendapatkan makanan pun tak luput dari peluru.
Melaporkan langsung dari Deir el-Balah, jurnalis Al Jazeera Tareq Abu Azzoum menggambarkan situasi di pusat bantuan GHF sebagai pemandangan horor.
“Orang-orang menggambarkan pemandangan mengerikan saat mereka menunggu berjam-jam hanya dengan harapan mendapatkan pasokan makanan pokok, hanya untuk disambut dengan tembakan tiba-tiba dan tanpa alasan. Saya telah berbicara dengan sejumlah penyintas pagi ini, dan mereka memberi tahu saya kesaksian yang memilukan dan mereka berbagi pemandangan mengerikan yang terjadi di dekat pusat bantuan yang dikelola GHF," ujarnya.
“Mereka memberi tahu saya bahwa tidak ada peringatan sebelumnya, tidak ada indikasi sebelumnya, hanya tembakan yang merobek kerumunan, warga Palestina yang putus asa berhamburan mencari perlindungan saat peluru beterbangan. Mereka memberi tahu saya bahwa layanan darurat dan tim medis tidak dapat mengakses area tersebut karena intensitas tembakan. Ini benar-benar mencerminkan runtuhnya lanskap kemanusiaan di Gaza," tambah Abu Azzoum.
Laporan Associated Press mengungkap bahwa kontraktor keamanan yang bekerja di bawah GHF, termasuk dari Amerika Serikat, terlibat langsung dalam penggunaan amunisi tajam dan granat kejut untuk menghalau warga yang kelaparan.
Dua kontraktor AS yang mewawancarai AP secara anonim mengaku terguncang oleh praktik berbahaya tersebut.
Mereka menyebut banyak personel keamanan tidak memiliki pelatihan memadai, bersenjata lengkap, dan tampaknya mendapat kebebasan bertindak tanpa pengawasan berarti.
Dalam laporan dari Amman, jurnalis Al Jazeera Nour Odeh mengatakan, “Israel menyatakan bahwa tentara mereka tidak sengaja menargetkan warga sipil dan menuding media membesar-besarkan korban. Tentu saja, ini adalah reaksi khas yang sering kita dengar setiap kali ada fakta baru tentang tindakan militer Israel. Dan laporan ini juga menyinggung peran kontraktor (AS).”
Menurutnya, GHF bukan hanya menggantikan sistem kemanusiaan internasional yang telah lama ada di Gaza, tapi juga menjadi alat untuk menekan warga sipil.
Bahkan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, pekan ini menyatakan bahwa bantuan yang masuk ke Gaza sudah terlalu banyak dan tidak boleh ada tambahan bantuan, demi menjamin kemenangan Israel.
Dr. Mads Gilbert, dokter asal Norwegia yang telah lebih dari 30 tahun melayani di Gaza, menyebut operasi GHF sebagai bagian dari rencana genosida Israel.
“Ini tidak ada hubungannya dengan pengentasan kelaparan di Gaza,” tegasnya. Ia menyebut GHF sebagai “operasi palsu” dan “setetes air di lautan” yang justru dimanfaatkan sebagai umpan.
"Organisasi distribusi ini bertujuan menggunakan makanan sebagai umpan untuk menarik orang-orang yang kelaparan, meneror mereka, dan membunuh mereka. Penembakan terhadap orang-orang yang sedang mengantre makanan adalah kejahatan perang," ujarnya.
Lebih dari 130 organisasi kemanusiaan global seperti Oxfam, Save the Children, dan Amnesty International telah menyerukan penutupan segera GHF.
Mereka menuduh GHF memfasilitasi serangan terhadap warga sipil, dan menyebut pasukan Israel serta kelompok bersenjata "secara rutin" menembaki warga Palestina yang hanya ingin mengakses makanan.
Sejak GHF mulai beroperasi pada akhir Mei 2025, lebih dari 600 warga Palestina telah tewas saat mencoba mendapatkan bantuan, dan hampir 4.000 lainnya terluka.
Perang Israel di Gaza, yang terus berlangsung sejak Oktober 2023, telah merenggut nyawa sedikitnya 56.647 orang dan melukai 134.105 lainnya, menurut data terbaru Kementerian Kesehatan Gaza.
Di pihak Israel, tercatat 1.139 orang tewas dan lebih dari 200 lainnya disandera dalam serangan awal yang dipimpin Hamas.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]