WahanaNews.co | Pada tahun 1960-an, pemerintah Spanyol merelokasi penduduk Granadilla karena kota itu akan ditenggelamkan demi sebuah waduk baru.
Ketika semua penduduk sudah terusir, kota itu tidak kunjung tenggelam.
Baca Juga:
Akui Palestina Merdeka, Bendera Spanyol, Norwegia, dan Irlandia Berkibar di Tepi Barat
Granadilla adalah sebuah kota mati di Spanyol. Para pengunjung bisa mengintip ke dalam rumah-rumah kosong, menapaki jalan-jalannya, dan menatap pemandangan dari kastil di kota tersebut.
Namun, tiada seorangpun yang tinggal di sana sejak semua penduduk diusir pada 1960-an.
Granadilla sejatinya adalah kota benteng yang didirikan komunitas Muslim pada abad ke-9.
Baca Juga:
Menhan Spanyol: Perang di Gaza Palestina Adalah Genosida, Harus Segera Dihentikan
Lokasinya strategis sehingga siapapun yang menduduki kota bisa mengawasi Ruta de la Plata, rute perdagangan kuno di kawasan barat Spanyol.
Hingga kini Granadilla adalah satu dari segelintir benteng kota di Spanyol yang tembok-tembok kunonya masih utuh, tapi penduduknya yang tercerai-berai.
Pulau sepanjang 200 meter di Eropa yang rutin berubah kewarganegaraan dua kali setahun
Koridor Wakhan di Afghanistan, 'tempat paling terpencil dan terindah di seluruh Asia yang tak tersentuh waktu'
Pengusiran warga Granadilla berawal pada 1950-an, pada masa kediktatoran Francisco Franco.
Kala itu, Spanyol memulai proyek pembangunan bendungan secara besar-besaran guna mendongkrak perekonomian di tengah periode isolasi.
Proyek terbesar adalah waduk Gabriel y Galán di Sungai Alagón. Kemudian pada 1955, para petinggi Spanyol mengumumkan Granadilla bakal terkena penenggelaman sehingga semua penduduknya harus dievakuasi.
Selama 10 tahun, dari 1959 hingga 1969, seluruh 1.000 penduduk diusir paksa. Banyak di antara mereka pindah ke lahan dekat kota kecil tersebut.
Ketika air mulai naik pada 1963, jalan menuju kota tidak ikut tenggelam.
Granadilla pun tidak terimbas sehingga kota tersebut menjadi semenanjung.
Meski demikian, warga kota tidak diperbolehkan kembali ke sana.
Pengalaman itu amat traumatis bagi warga setempat, banyak di antara mereka yang masih frustrasi sampai sekarang.
“Kami diejek. Mereka mendepak kami, mengklaim bendungan akan membanjiri kota, yang sebenarnya mustahil karena kota lebih tinggi dari bendungan. Tapi saat itu adalah masa kediktatoran dan kami tidak punya hak,” kata Eugenio Jiménez, ketua Asosiasi Anak-anak Granadilla.
“Namun yang benar-benar membuat saya frustrasi adalah pada masa demokrasi, saya terus berjuang bersama asosiasi anak-anak mantan warga demi pengembalian Granadilla, dan tiada pemerintahan yang mendengarkan kami,” lanjutnya.
Purificación Jiménez, seorang mantan warga Granadilla, ingat benar kesulitan masa itu.
“Saya ingat setiap kali sebuah keluarga meninggalkan kota, semua orang berkumpul di gerbang kota untuk mengucapkan perpisahan dan menangis,” kenangnya.
Sampai sekarang warga kota tidak diizinkan mengklaim rumah mereka karena pemerintah Spanyol berkeras bahwa aturan mengenai penenggelaman ditandatangani secara sah oleh Franco.
Mantan warga dan keturunannya hanya bisa berkumpul dua kali setahun di kota tersebut pada hari suci umat Katolik, yakni Hari Raya Semua Orang Kudus pada 1 November dan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada 15 Agustus.
Selain mantan warga, pengunjung awam bisa datang mengunjungi untuk berwisata secara gratis karena kota itu telah ditetapkan sebagai museum terbuka. [rsy]