Kondisi tersebut memicu perang saudara yang semakin memperparah krisis kemanusiaan, menimbulkan ribuan korban jiwa, serta memaksa jutaan warga mengungsi ke perbatasan negara tetangga.
Pemerintah militer sebelumnya berjanji akan menyelenggarakan pemilihan umum pada akhir tahun 2025 sebagai langkah menuju demokrasi.
Baca Juga:
Pertemuan Bilateral Presiden Prabowo dan Sekjen PBB Bahas Sinergi Atasi Tantangan Global
Namun janji itu diragukan banyak pihak, termasuk komunitas internasional, yang menilai pemilu tersebut tidak lebih dari upaya junta untuk memperpanjang kekuasaan melalui jaringan politik yang loyal kepada mereka.
Sejumlah partai oposisi dibubarkan dengan alasan administratif, dan kelompok pemberontak serta pemerintahan bayangan menolak berpartisipasi dalam proses politik yang dianggap tidak sah.
Pemimpin junta, Min Aung Hlaing, bahkan mengakui bahwa pemilu sulit digelar di seluruh wilayah Myanmar karena situasi keamanan yang semakin tidak terkendali.
Baca Juga:
Prabowo Bertemu Sekjen PBB, Tegaskan Komitmen Indonesia untuk Perdamaian Dunia
Dalam kesempatan itu, Guterres kembali menekankan pentingnya membangun masa depan Myanmar berdasarkan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan partisipasi politik yang bebas.
Ia menyampaikan keraguannya terhadap rencana pemilu junta, dengan mengatakan bahwa masyarakat internasional tidak percaya pemilihan tersebut akan berlangsung bebas dan adil.
“Sudah saatnya membuka jalur kemanusiaan, mengakhiri kekerasan, dan menemukan solusi politik yang menyeluruh,” kata Guterres. “Rakyat Myanmar mengandalkan dukungan kolektif kita.”