WahanaNews.co | Krisis energi yang menjerat Inggris, kawasan Eropa, juga Cina, memicu negara-negara ini kembali beralih ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan batu bara.
Ini membuktikan bahwa penyediaan energi murah dengan pasokan yang terjaga menjadi hal yang paling utama.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Hal tersebut terlihat ketika harga gas bumi melambung tinggi, Inggris dan negara-negara di kawasan Eropa kembali memilih untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Sedangkan krisis listrik di Cina disebabkan berkurangnya pasokan batu bara untuk mengejar target emisi dan iklim. Padahal belum lama ini, Inggris memutuskan untuk memajukan targetnya mengakhiri penggunaan PLTU batu bara setahun lebih cepat menjadi Oktober 2024.
Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong negara lain untuk segera menghentikan konsumsi batu bara.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan pada akhirnya krisis energi membuat suatu negara mencari energi yang paling murah dan sesuai dengan kondisi negara tersebut. Sehingga proses transisi ke energi bersih juga perlu ditinjau kembali mengenai keekonomian harga.
"Jika ada energi terbarukan yang lebih murah bisa saja negara dapat beralih menggunakan EBT. Namun jika tidak ada pengganti akan seperti Inggris bahwa Indonesia kemungkinan akan tetap menggunakan batu bara dalam jangka panjang," ujar Komaidi, beberapa waktu lalu.
Apalagi menurut dia porsi listrik RI dari batu bara saat ini sekitar 65%. Sementara jika proyek 35 ribu megawatt (MW) selesai, maka porsi listrik batu bara diproyeksikan lebih dari 70%.