WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di balik layar diplomasi yang terlihat tenang, sebuah langkah besar tengah disiapkan oleh Indonesia. Ya, sebuah manuver yang bisa mengubah lanskap kekuatan udara Asia Tenggara secara dramatis.
Pada 28 Mei, sebuah unggahan singkat namun mencolok muncul di platform X terverifikasi milik Menteri Pertahanan Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin.
Baca Juga:
DPR-MPR Tanggapi Surat Usulan Pemakzulan Gibran dari Purnawirawan TNI
Ia baru saja menerima Duta Besar RI untuk Tiongkok, Djauhari Oratmangun, untuk membahas sejumlah isu strategis.
Namun di antara bahasan ketahanan pangan dan kerja sama industri pertahanan, terselip sebuah kalimat yang langsung menyulut atensi para pengamat militer: Indonesia tengah mempersiapkan pengiriman pilot TNI AU ke China untuk pelatihan jet tempur J-10.
“Kami juga membahas kesiapan penempatan pilot TNI AU ke Tiongkok untuk pelatihan jet tempur J-10, serta evaluasi fasilitas manufaktur pertahanan,” tulisnya.
Baca Juga:
Viral Mobil Pasukan Yonif Ditendang Ormas di Magelang, Nyaris Bentrok
Unggahan itu segera menyebar di berbagai kanal pemantauan pertahanan regional dan forum militer internasional.
Tapi tak lama berselang, postingan tersebut lenyap. Dihapus. Seolah ada yang terlalu sensitif untuk diumumkan terlalu dini.
Namun, pesan sudah terlanjur dikirim ke dunia: Indonesia sedang mengintip ke arah Timur, ke Beijing, bukan hanya untuk berdagang atau berinvestasi, melainkan untuk membangun masa depan kekuatan udara mereka.
Tak mengherankan bila spekulasi pun berkembang cepat. Banyak yang mengaitkan kabar ini dengan laporan negosiasi pembelian 42 unit J-10C bekas dari China, sebuah jet tempur yang meraih reputasi setelah tampil mengesankan dalam konfrontasi udara antara Pakistan dan India.
Di balik kecanggihan J-10C, tersimpan narasi yang membayangi bahkan dominasi jet-jet tempur Barat seperti Rafale.
Sumber-sumber menyebut, beberapa unit J-10C milik Pakistan, bersenjatakan rudal BVR PL-15, mampu menjatuhkan enam pesawat India dalam satu rangkaian pertempuran.
Termasuk tiga Rafale. India menyangkal keras klaim ini, namun efek psikologisnya telah menyebar jauh melampaui Himalaya.
Keputusan Indonesia, jika benar akan dilaksanakan, bukan sekadar pembelian alat perang. Ini adalah pernyataan geopolitik.
Terlebih, langkah ini berjalan bersamaan dengan sinyal Indonesia yang tampaknya menghidupkan kembali kontrak Su-35 dari Rusia, kesepakatan senilai lebih dari US$1 miliar yang sempat membeku sejak 2020 akibat tekanan sanksi dan hambatan logistik.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov, baru-baru ini menegaskan bahwa kontrak Su-35 “tidak pernah dibatalkan”.
“Kami akan melanjutkan pembicaraan pada waktunya,” ujarnya, melansir Defense Security Asia.
Sementara Barat sibuk dengan sanksi dan prioritas aliansi, Indonesia tampaknya memilih jalur independen: meracik kombinasi kekuatan udara dari Timur dan Barat.
Selain J-10 dan Su-35, gelombang pertama Rafale buatan Prancis dijadwalkan tiba di Tanah Air pada Februari 2026, bagian dari akuisisi 42 unit senilai RM32 miliar.
Dengan ketegangan regional yang terus meningkat, diversifikasi ini bukan hanya cerdas, tetapi juga vital. Terutama bagi negara yang berada di jantung Indo-Pasifik, tempat dua poros kekuatan global, AS dan China, bertabrakan dalam senyap dan terang.
Di LIMA 2025, pameran dirgantara dan maritim yang baru saja digelar di Langkawi, Malaysia, J-10CE, varian ekspor dari J-10C, menjadi primadona di paviliun China.
Jet ini dipuji karena telah “membuktikan diri dalam pertempuran sesungguhnya”, dan menyita perhatian analis serta calon pembeli dari berbagai negara.
Melalui CATIC, eksportir senjata milik negara, Beijing kini mendorong J-10CE sebagai alternatif yang tangguh terhadap tawaran Barat dan Rusia.
Dengan biaya yang relatif efisien, beban geopolitik yang lebih ringan, dan kredensial tempur yang sedang naik daun, J-10CE menjadi godaan yang sulit diabaikan.
J-10C bukan sekadar jet tempur. Ia adalah simbol kekuatan industri pertahanan China yang kian percaya diri, dan pilar baru dari PLAAF yang kini mengoperasikan lebih dari 220 unit.
Dengan radar AESA, mesin WS-10B, sistem peperangan elektronik canggih, hingga kemampuan menjangkau target lebih dari 200 km lewat rudal PL-15, J-10C bukanlah pesaing sembarangan.
Rancangan aerodinamis canard-delta-nya menjadikannya lincah, mematikan, dan serbaguna, dari duel udara hingga serangan anti-kapal.
Jika Indonesia benar-benar mengirim pilotnya ke China, maka ini bukan hanya urusan pelatihan. Ini adalah awal dari babak baru, di mana TNI AU sedang mengukir ulang doktrin udara mereka dengan tinta geopolitik yang jauh lebih kompleks dan berani dari sebelumnya.
Performa Pesawat Tempur J-10C:
Aerodinamika dan Siluman:
Konfigurasi delta-canard untuk meningkatkan kelincahan.
Penggunaan komposit penyerap radar dan bentuk yang ramping untuk mengurangi penampang radar.
Penggerak dan Performa:
Didukung oleh mesin turbofan WS-10B.
Kecepatan maksimum: Mach 2.0.
Ketinggian operasional: 18.000 meter.
Radius tempur: 1.100–1.500 km tergantung muatan.
Jangkauan feri: Lebih dari 3.000 km dengan tangki eksternal.
Avionik dan Kokpit:
Dilengkapi dengan radar AESA yang menawarkan pelacakan multi-target dan ketahanan ECM yang kuat.
Kokpit kaca dengan layar multifungsi digital, kontrol fly-by-wire, HMD, dan sistem adaptif misi.
Rangkaian Perang Elektronik:
Termasuk penerima peringatan radar (RWR), pod ECM, dispenser sekam dan suar, dan IRST untuk deteksi pasif.
Dioptimalkan untuk operasi wilayah udara yang diperebutkan dan berisiko tinggi.
Muatan Senjata:
11 titik eksternal untuk konfigurasi senjata serbaguna.
Rudal Udara-ke-Udara: PL-15 (BVR jarak jauh), PL-10 (IR kelincahan tinggi), PL-8/PL-12 lama.
Udara-ke-Darat/Anti-Kapal: KD-88 (serangan presisi), YJ-91 (anti-kapal/radar), amunisi berpemandu laser dan satelit.
Pod EW dan tangki jatuh dapat dikonfigurasikan untuk misi yang diperpanjang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]