Di saat negara-negara lain keluar masuk daftar sepuluh 10 besar negara paling dermawan, Indonesia konsisten berada di posisi puncak dalam waktu setengah dekade. “Ini menunjukkan kuatnya tradisi menyumbang kita yang diinspirasi oleh ajaran agama dan tradisi lokal yang sudah dipraktikkan puluhan tahun. Kondisi pandemi ternyata tidak berpengaruh pada minat dan antusiasme menyumbang masyarakat Indonesia dan hanya berdampak pada jumlah dan bentuk donasi yang disumbangkan,” katanya, dalam keterangan tertulisnya.
Selain pengaruh ajaran keagamaan yang sangat kuat, Hamid melihat keberhasilan para pegiat filantropi, khususnya filantropi Islam, dalam menggalang, mengelola dan mendayagunakan donasi keagamaan, juga berkontribusi pada pencapaian tersebut.
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Lembaga filantropi Islam, khususnya badan dan lembaga pengelola ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf) telah bermetamorfosis menjadi lembaga filantropi modern. Mereka mengembangkan strategi penggalangan sumbangan keagamaan secara konvensional dan digital, serta menerapkan standart pengelolaan donasi secara transparan dan akuntabel.
Para pegiat lembaga ZISWAF juga berhasil mendorong perluasan pendayagunaan ZISWAF untuk program strategik dan jangka panjang, seperti pemberdayaan ekonomi, pelestarian lingkungan, perlindungan anak, sampai bantuan hukum dan advokasi kebijakan. Mereka juga berhasil mengaitkan dan menyelaraskan program-program yang dijalankannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Tak heran jika perolehan donasi lembaga-lembaga filantropi Islam ini mengalami kenaikan selama pandemi, meski prosesntase kenaikannya tidak setinggi di masa normal sebelum pandemi.”
Baca Juga:
Percepat Target Transisi Energi, PLN Siap Kembangkan Sejumlah Skenario Agresif
Peneliti dan pegiat Filantropi ini menilai keberhasilan pegiat Filantropi dalam mengoptimalkan pemanfaatan TIK (Teknologi, Informasi dan Komunikasi) untuk kegiatan filantropi juga ikut andil dalam mendongkrak posisi Indonesia di WGI. Strategi ini terbukti bisa menyiasati kebijakan pembatasan interaksi langsung dan mobilitas warga yang menjadi kendala utama kegiatan filantropi selama pandemi. Lewat pemanfaatan TIK, lembaga filantropi tetap bisa beroperasi di masa pandemi dan memfasilitasi penyaluran sumbangan dari masyarakat donatur. Pemanfaatan TIK ini juga terbukri bisa mempercepat tranformasi lembaga dan kegiatan filantropi dari konvensional menuju filantropi digital.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Hamid melihat regulasi filantropi di Indonesia tidak banyak berpengaruh dan berkontribusi terhadap prestasi sektor filantropi ini. Bahkan, dalam banyak kasus, berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait Filantropi justru menghambat kegiatan kedermawanan di Indonesia. Hal ini dikarenakan regulasi yang mengatur sektor filantropi (UU 9/1961, PP 29/1980, Permensos 28/2021, dll) sudah ketinggalan jaman, kurang mendukung dan cenderung restriktif terhadap kegiatan kedermawanan. Sementara kebijakan insentif pajak yang biasanya menjadi faktor pendorong kegiatan filantropi juga ketinggalan dibandingkan kebijakan insentif pajak di negara-negara lain. Insentif pajak di Indonesia belum menjadi pendorong warga untuk berdonasi karena cakupannya terbatas, jumlah insentif yang kecil, serta ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam penerapan kebijakannya.
Hamid melihat terkuaknya kasus penyalahgunaan sumbangan pada awal Juli 2022 tak berpengaruh pada peringkat kedermawanan Indonesia karena WGI 2022 ini mengkaji dan menganalisis data kedermawanan Indonesia tahun 2021. Hamid memperkirakan kasus yang menghebohkan itu akan berdampak pada peringkat Indonesia di WGI 2023. Kasus tersebut ditengarai akan berdampak pada menurunnya kepercayaan masyatakat terhadap lembaga Filantropi dan membuat masyarakat menahan diri dalam menyalurkan dana sosialnya.