WahanaNews.co | Taliban menerapkan syariat Islam di Afghanistan selama mereka memegang kendali pemerintah interim.
Sementara itu, Arab Saudi juga menerapkan aturan yang berbasis agama.
Baca Juga:
H. Asmauddin Sampaikan Kondisi Syariat Islam Kota Subulussalam ke Pol-PP dan WH Aceh
Mantan Kepala Dinas Intelijen Saudi, Pangeran Turki al-Faisal, mencatat bahwa visi keagamaan Saudi sangat berbeda dari Taliban dan Al-Qaeda.
Pernyataan ini muncul sebagai upaya menghilangkan kesalahpahaman umum yang mengklaim bahwa kedua kelompok radikal terinspirasi oleh paham Wahabi.
Wahabi adalah gerakan Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Baca Juga:
Pemkab Aceh Barat Lakukan Pembongkaran di Sejumlah Kafe yang Langgar Syariat Islam
Secara pemikiran, aliran ini umumnya merujuk pada pandangan Ibnu Taymiyyah yang sangat tekstual dan secara fiqih umum mengambil dari Ibn Hambali yang disebut terkenal kaku.
Ia juga menggarisbawahi bahwa Taliban tak mengadopsi interpretasi Saudi soal hukum Islam, sebagaimana kepercayaan publik yang beredar.
Taliban, kata Faisal, cenderung ke arah sufi Deobandi yang menekankan komitmennya pada ideologi agama yang sangat berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahab.
Deobandi adalah sekolah Islam India yang memadukan pemikiran Salafi yang ketat dan tasawuf.
Hal ini menjadi sasaran kritik oleh banyak gerakan Sunni Arab.
Dalam pernyataan terbaru, dia mencatat perbedaan antara interpretasi yang disebut Wahabi terhadap hukum Islam dan mazhab Deobandi yang dianut oleh Taliban.
"Ada banyak referensi, baik di media atau di buku-buku ilmiah yang mengklaim bahwa ada pengaruh Wahabi terhadap Taliban. Namun, bukan ini yang terjadi," kata Faisal, seperti dikutip Arab Weekly.
Faisal bersikeras, secara ideologis Taliban memiliki pandangan yang berbeda.
"Ideologi Deobandi terus menentukan visi kelompok tersebut hingga hari ini," kata Faisal.
Pengaruh Paham Deobandi India
Sementara itu, akademisi dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Kholid Al Walid, melihat dari sisi lain mengenai Taliban yang terpengaruh paham Deobandi.
Menurutnya, tarekat atau jalan hidup mengajarkan kecintaan.
"Pada kasus Taliban saya melihatnya lebih karena pemahaman para petinggi Taliban yang melihat bahwa keketatan dalam penerapan syariah sebagai upaya untuk menimbulkan ketaatan bagi pengikut dan ketakutan bagi lawan-lawannya," katanya, saat dihubungi wartawan, Kamis (30/9/2021).
Kholid mengatakan, Taliban masuk dalam kategori Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.
Sebab, secara teologis merujuk pada Maturidiyah dan secara fikih mereka mengikuti Imam Abu Hanifah, sehingga mazhabnya pun condong ke Hanafi.
"Bahwa kecenderungan radikal pada kalangan Taliban lebih karena pola gerakan politik yang dipilih dan penolakan terhadap beragam pengaruh Barat dan Rusia yang dianggap merusak Islam di Afghanistan," kata Kholid.
Kelompok yang kini memegang kendali di Afghanistan, lanjut Kholid, tidak mengkafirkan mazhab-mazhab lain.
Hal ini berbeda dengan kelompok ekstremis seperti ISIS yang mengkafirkan mereka yang tidak berbaiat pada pemimpinnya, Abu Bakar al-Baghdadi.
Hal tersebut dilakukan milisi Taliban untuk mendirikan satu bentuk pemerintahan Islam yang mereka sebut sebagai Imarah.
Kelompok ini, menolak semua gerakan kelompok ekstremis yang menganut Wahabi karena perbedaan teologis dan cara pandang gerakan walaupun dulu sempat bekerjasama, lanjut Kholid.
"Ajaran yang dianutnya iya (moderat), namun gerakannya tidak moderat. Dalam konteks hukum, Taliban memperlakukan hukum yang cukup ketat dan kaku," kata Kholid, saat ditanya apakah Taliban lebih moderat dari Saudi.
Aturan itu di antaranya pemakaian burkak bagi perempuan, Hudud atau hukum potong tangan, Qisas atau hukuman mati dan rajam.
Meski di era Taliban terkini, kali ini menurut Kholid, mereka mencoba lebih membatasi penerapan hukum tersebut.
Sementara Arab Saudi menjadikan Islam versi Wahabi sebagai ajaran yang berlaku.
"Wahabi menolak seluruh jenis perbedaan baik teologis maupun fikih. Sehingga cenderung mudah mengkafirkan kelompok-kelompok Islam yang berbeda," ujar Kholid.
Wahabi ia sebut melahirkan gerakan-gerakan radikal seperti Al-Qaeda, Jabhat al-Nusra dan ISIS.
"Semboyan utama dari kalangan ini adalah pemurnian ajaran Islam," lanjutnya.
Para pengamat mengatakan, Faisal berusaha menjauhkan Saudi dari Al-Qaeda dan kelompok ekstremis lain.
Menurut mereka, Faisal menyangkal peran Saudi dalam peristiwa serangan September 2001 (11/9), baik secara langsung maupun tak langsung.
Bahkan, jika sebagian besar dari mereka yang melakukan serangan itu adalah orang Saudi.
Tak ada hubungannya dengan Taliban, yang akan memungkikan Arab Saudi lebih bebas menangani situasi baru di Afghanistan.
"Al- Qaeda menargetkan kerajaan (Arab Saudi) terlebih dahulu sebelum orang lain," kata Faisal dalam pernyataan sebelumnya.
Faisal kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebelum peristiwa 11 September (11/9), saat penyerangan bom di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Al-Qaeda.
Pernyataan ini muncul usai Biro Investigasi Federal AS (FBI) membuka dokumen terkait hal tersebut.
Ia berusaha membuat jarak antara dirinya dan Arab Saudi dari peran apapun dalam kebangkitan gerakan Taliban di Afghanistan.
Pernyataan itu bersamaan dengan meningkatnya tekanan Arab Saudi dengan Washington.
Pada 22 September lalu, Faisal meluncurkan buku yang berjudul "The Afghanistan File" selama pertemuan Royal Society of Asian Affairs di London.
Dalam pernyataan terbarunya, mantan kepala intelijen Saudi itu juga mengungkapkan rincian penting mengenai buku tersebut.
Faisal secara pribadi berusaha meminta Pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden diekstradisi pada tahun 1998.
Tetapi pemimpin Taliban saat itu, Mullah Omar, menolak gagasan tersebut, padahal sebelumnya telah setuju.
Di tahun 1990-an, bin Laden dan anggotanya dituduh melakukan berbagai serangan, mulai dari pembunuhan terhadap 18 anggota militer Amerika Serikat hingga peledakan dua truk.
"Mullah Omar hanya menyangkal bahwa dia telah berjanji untuk menyerahkan bin Laden atau membentuk sebuah komite untuk mencari cara melakukannya," ujar Faisal.
Menurut penuturan Faisal, Mullah Omar kemudian mengatakan Arab Saudi harus berbicara dengan bin Laden, dan harus melawan imperialis, alih-alih memerangi dia.
"Saya hanya berdiri dan berkata 'Pak Omar, apa yang Anda katakan, dan apa yang Anda lakukan akan membahayakan untuk Anda dan kami,'" ucapnya.
"Dalam perjalanan ke kerajaan, saya mengirim laporan kepada raja dan putra mahkota menyarankan mereka untuk memutuskan hubungan dengan Taliban, yang pada akhirnya dilakukan oleh Saudi," imbuh Faisal.
Faisal juga mengungkapkan Arab Saudi sebelumnya telah mencoba menengahi Taliban dan pemerintahan Hamid Karzai, yang dilakukan sebagai permintaan terakhir.
Delegasi Taliban akhirnya mengunjungi kerajaan dan Raja Abdullah. Saudi lalu menanyakan soal pemutusan hubungan kelompok tersebut dengan Al-Qaeda, sebelum kematian bin Laden.
"Jawaban mereka adalah tidak. Jadi kami memberi tahu mereka. Oke, kami tidak akan memiliki hubungan apa pun dengan Anda sampai Anda memutuskan hubungan dengan bin Laden," ucap Faisal.
Meskipun mengangkat banyak poin perselisihan dengan Taliban, Faisal memperingatkan masyarakat internasional agar tak meninggalkan Afghanistan pada saat kritis seperti hari ini.
Dia juga menyerukan perlunya mendukung negara itu, serta mendesak Taliban mengambil tindakan sesuai janjinya sebagai bukti menunjukkan kesiapan, keterbukaan dan kerja sama.
Lebih dari negara Sunni lainnya, Arab Saudi memiliki posisi yang lebih baik untuk memainkan peran kunci di Afghanistan.
Namun, Saudi tidak ingin melihat Afghanistan berubah menjadi landasan ambisi Iran, seperti yang terjadi di masa lalu saat Teheran mengeksploitasi ketegangan untuk memperluas kekuasaanya di wilayah tersebut, khususnya di Irak, Suriah, dan Yaman. [dhn]