Namun Ashgabat meraih peringkat tinggi karena kesengsaraan
ekonomi, bukannya kemakmuran. Hal itu menjadikannya , membuatnya tak terduga
atau bahkan aneh dan mengagetkan.
Mengapa Ashgabat berada di urutan teratas daftar itu?
Jean-Philippe Sarra dari Mercer mengatakan, "Inflasi lokal yang tinggi
menjelaskan kenaikan Ashgabat ke peringkat pertama dari kedua dalam survei
tahun lalu." Inflasi adalah tingkat kenaikan harga barang dan jasa dari waktu
ke waktu.
Baca Juga:
Cedera Empat Pemain Ancam Kekuatan Garuda di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Dikenal karena pemerintahannya yang otokratis dan cadangan
gasnya yang besar, Turkmenistan telah bergulat dengan krisis ekonomi jangka
panjang yang telah menjerumuskan banyak warganya ke dalam kemiskinan.
Dulunya bagian dari Uni Soviet, negara ini sangat bergantung
pada pendapatan ekspor gas alam ke Rusia. Mengingat hal ini, gejolak ekonomi
Turkmenistan sebagian didorong oleh harga gas yang rendah.
Penurunan harga energi global pada 2014 mendorong kenaikan
inflasi dan harga pangan.
Baca Juga:
Kini Tinggal Kenangan, Turkmenistan Pernah Gratiskan Listrik dan Gas 24 Tahun
Pada September tahun lalu, laporan Human Rights Watch (HRW)
mengatakan, "Pandemi Covid-19 telah secara drastis memperburuk krisis pangan
yang sudah ada di Turkmenistan."
"Kekurangan makanan bersubsidi, yang meningkat sejak 2016,
telah memburuk, dengan orang-orang mengantri berjam-jam untuk mencoba membeli
produk makanan yang lebih terjangkau, seringkali ditolak dengan tangan kosong,"
papar laporan itu.
Meskipun demikian, pemerintah Turkmenistan memulai ekspansi
besar Ashgabat pada Mei. Presiden lama Gurbanguly Berdymukhamedov berjanji
mengubah ibu kota menjadi "salah satu kota paling makmur di dunia".