WahanaNews.co | Sikap Pemerintah Belanda yang mengakui melakukan kekerasan ekstrem dan sistematis dalam selama perang kemerdekaan Indonesia bakal mengisi lembaran baru sejarah.
Pernyataan permintaan maaf itu disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, pada Kamis (17/2/2022).
Baca Juga:
Mentan Amran Ajak Petani Bone Revolusi Pertanian
Dia menyampaikan hal itu setelah dalam kajian terbaru yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia, ditemukan bahwa pasukan Belanda membakar desa-desa dan melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-1949.
Dalam studi tersebut peneliti menyebut bahwa pihak Belanda mulai dari politikus, pejabat, pegawai negeri, hakim, dan sebagainya mengetahui tentang kekerasan ekstrem dan sistematis itu.
Kejahatan perang pertama kali diungkapkan oleh seorang mantan veteran Belanda pada 1969, tetapi sejak saat itu pandangan resmi adalah bahwa meskipun "berlebihan" mungkin terjadi, pasukan Belanda secara keseluruhan berperilaku dengan benar.
Baca Juga:
Fakta Mengejutkan, Indonesia Hanya Dijajah 37 Tahun, Bukan 350!
Aksi kekerasan militer Belanda di Indonesia dikumpulkan dalam dokumen dan kumpulan arsip kejahatan perang Belanda yang diberi judul Excessennota.
Laporan itu disusun pada 1969 oleh Cees Fasseur.
Menurut laporan itu ada sekitar 76 kasus kekerasan atau kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia pada masa revolusi, antara lain di Rawagede, Sulawesi Selatan, dan Madura.
Khusus untuk peristiwa di Sulawesi Selatan, yang menjadi sorotan adalah sepak terjang Kapten Raymond Pierre Paul Westerling.
Lelaki itu terkenal karena aksinya melakukan eksekusi terhadap ribuan orang di Sulawesi Selatan yang dianggap sebagai pejuang kemerdekaan antara 1946 sampai 1947.
Westerling kemudian kembali dipercaya memimpin korps pasukan elite Depot Speciale Tropen antara 1947 sampai 1948.
Setelah itu dia memilih berhenti menjadi tentara.
Setelah menjadi warga sipil, Westerling kemudian bermukim di daerah Cililin dan Pacet, Jawa Barat.
Westerling kemudian menikah dengan seorang perempuan Indonesia keturunan Prancis, Yvone Fournier.
Ketika menetap di Jawa Barat, Westerling kemudian menjadi pengusaha angkutan yakni truk khusus pengangkut hasil bumi.
Namun, di sana dia juga merencanakan kudeta dengan membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Rencana kudeta itu gagal dan kemudian Westerling kabur ke Jakarta dan sembunyi di sejumlah lokasi.
Dia kemudian diselundupkan ke luar negeri dan kembali pulang ke Belanda.
Perbuatannya dalam peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan membuat Westerling menjadi sosok kontroversial.
Sebab apa yang dia lakukan tergolong sebagai kejahatan perang dan seharusnya diadili.
Pada 1979, kasus pembantaian oleh Westerling itu kembali dibicarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Saat itu seorang anggota Komisi III DPR fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), VB da Costa, mengatakan, Westerling menantang untuk diadili atas perbuatannya di Indonesia.
Menurut da Costa, dia mengetahui hal itu setelah membaca laporan surat kabar Belanda.
Dalam artikel itu ditulis Westerling menanggapi pernyataan da Costa yang meminta Pemerintah Indonesia mengekstradisi dan mengadili Westerling.
Alasan da Costa meminta pemerintah mengadili Westerling supaya tuduhan penjahat perang yang disematkan kepada sang mantan tentara itu terungkap.
Selain itu, pengadilan terhadap Westerling diperlukan guna menguak fakta sejarah.
Akan tetapi, da Costa menyatakan Pemerintah Indonesia seolah membiarkan Westerling hidup bebas di Belanda.
Kekecewaan lain da Costa adalah Westerling selalu membantah tuduhan dia membantai 40.000 penduduk Sulawesi Selatan.
"Ia bahkan tidak mengaku bahwa yang dibunuhnya 40.000 manusia, melainkan 'cuma' 9.000 orang saja," kata da Costa.
Selain itu, da Costa mengatakan dia tidak tahu apakah pemerintah memang berniat mengadili Westerling di Indonesia.
"Saya khawatir, jangan-jangan Westerling benar-benar datang dari kita malah kikuk karenanya," kata da Costa sambil tertawa.
"Salah-salah, Westerling malah dijadikan tamu terhormat," lanjut da Costa.
Westerling pun tetap tidak tersentuh oleh hukum hingga ajal menjemputnya pada 26 November 1987. [gun]