WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan mematikan di perbatasan Thailand-Kamboja kembali menghangat, menyusul kematian seorang jenderal penting Kamboja hanya beberapa saat sebelum gencatan senjata diberlakukan.
Konflik berdarah ini telah menewaskan puluhan orang dan memaksa ratusan ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka, mendorong dunia internasional turun tangan untuk mendesak penghentian kekerasan.
Baca Juga:
Thailand Evakuasi Lebih dari 100 Ribu Warga, Konflik Perbatasan Belum Mereda
Jenderal Srey Duk, Wakil Kepala Angkatan Darat Kerajaan Kamboja sekaligus komandan Divisi Dukungan ke-3, dilaporkan tewas pada Senin tengah malam (28/7/2025), hanya beberapa menit sebelum dimulainya gencatan senjata yang disepakati kedua negara.
Menurut sumber dari Komando Wilayah Angkatan Darat Kedua Thailand, Jenderal Srey Duk gugur dalam baku tembak di kawasan perbatasan, menjadikannya korban tertinggi dalam hierarki militer sejak eskalasi konflik dimulai kembali.
Jenderal Srey Duk dikenal sebagai orang kepercayaan mantan Perdana Menteri Hun Sen dan memiliki peran sentral dalam berbagai negosiasi sebelumnya, termasuk pertemuan damai dengan Mayor Jenderal Somphop Paravech dari pihak Thailand untuk menyelesaikan sengketa intrusi perbatasan di Chong Bok.
Baca Juga:
Bentrok Berdarah di Perbatasan, Thailand Unggul di Udara dan Laut Lawan Kamboja
Namun, perdamaian yang sempat dibangun itu buyar ketika pertempuran kembali pecah pada Kamis pekan lalu, meski kedua negara sebelumnya telah sepakat untuk menarik pasukan dan mengembalikan situasi seperti semula pada 8 Juni 2025.
Sementara itu, pada Senin pukul 22.28, dua jet tempur F-16 milik Angkatan Udara Kerajaan Thailand dikerahkan untuk misi pemotongan rute bala bantuan Kamboja dan netralisasi posisi artileri musuh di sekitar area kuil Ta Kwai.
Misi udara itu dinyatakan sukses, dan pesawat kembali ke pangkalan dalam kondisi aman.
Meski kesepakatan gencatan senjata telah diumumkan di Malaysia dan dijadwalkan berlaku pada tengah malam, pihak militer Thailand pada Selasa (29/7/2025) menuduh pasukan Kamboja melanggar perjanjian hanya beberapa jam setelahnya.
Menurut juru bicara militer Thailand, Winthai Suwaree, pasukan Kamboja melakukan serangan ke sejumlah wilayah di Thailand tepat saat gencatan senjata diberlakukan, dan menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran disengaja yang mengikis rasa saling percaya.
"Thailand berkewajiban untuk merespons dengan tepat, dan menjalankan haknya yang sah untuk membela diri," kata Winthai.
Di sisi lain, juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Maly Socheata, menyangkal tuduhan tersebut dan menyatakan tidak ada bentrokan senjata yang terjadi setelah kesepakatan gencatan senjata.
Meski demikian, pertemuan antara komandan lapangan kedua pihak tetap dijadwalkan dan dimaksudkan untuk memastikan implementasi perjanjian berlangsung di garis depan.
Di kota Samraong, Kamboja, seorang jurnalis AFP melaporkan bahwa ledakan berhenti dalam waktu 30 menit sebelum tengah malam, dan ketenangan berlangsung hingga pagi hari.
Perdana Menteri Kamboja Hun Manet juga menyatakan dalam unggahan di Facebook pada Selasa pagi bahwa "garis depan telah mereda sejak gencatan senjata pada pukul 24.00 tengah malam."
Sejak pecah kembali pada Kamis sebelumnya, konflik telah merenggut nyawa sedikitnya 38 orang dan menyebabkan hampir 300.000 warga mengungsi, memicu intervensi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Perang ini disebut sebagai yang paling mematikan sejak serangkaian bentrokan bersenjata terjadi antara 2008 hingga 2011 di wilayah yang masih disengketakan berdasarkan peta warisan kolonial Prancis tahun 1907.
Seorang pengungsi Kamboja bernama Phean Neth mengungkapkan kegembiraannya mendengar kabar gencatan senjata karena merindukan rumah dan harta bendanya yang tertinggal.
"Saya sangat bahagia hingga tak bisa menggambarkannya," ujar pria 45 tahun itu dari kamp pengungsian dekat kawasan kuil.
Dalam pernyataan bersama usai perundingan damai yang difasilitasi Malaysia, Kamboja dan Thailand menyebut gencatan senjata sebagai "langkah awal yang vital menuju de-eskalasi dan pemulihan perdamaian dan keamanan."
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin malam juga menyerukan agar kedua negara menghormati sepenuhnya perjanjian damai tersebut dan menciptakan iklim kondusif untuk mencapai penyelesaian jangka panjang.
AS dan China turut terlibat dalam proses negosiasi yang dimediasi oleh Perdana Menteri Malaysia sekaligus Ketua ASEAN, Anwar Ibrahim, di Putrajaya.
Trump pun mendapat ucapan terima kasih dari Hun Manet atas dukungannya, sementara Penjabat PM Thailand, Phumtham Wechayachai, menegaskan bahwa "perundingan harus dijalankan dengan itikad baik oleh kedua belah pihak."
"Jika mereka mengatakan akan berhenti menembak, mereka harus berhenti sepenuhnya," kata Prapakarn Samruamjit, pengungsi Thailand berusia 43 tahun di kota Surin.
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn yang merayakan ulang tahun ke-73 pada Senin memilih membatalkan perayaan publik di tengah konflik yang masih berlangsung.
Dalam kesepakatan pasca-gencatan senjata, kedua negara juga membahas kerja sama dagang guna menghindari sanksi tarif dari AS, di tengah saling tuduh penggunaan senjata terlarang seperti bom curah dan penargetan rumah sakit.
Thailand mengklaim 25 warganya, terdiri atas 11 tentara dan 14 warga sipil, tewas dalam pertempuran, sementara Kamboja menyebut delapan warga sipil dan lima tentara gugur.
Lebih dari 138.000 orang telah mengungsi dari sisi Thailand, dan sekitar 140.000 orang lainnya meninggalkan rumah mereka di wilayah Kamboja.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]