WahanaNews.co |
Awal April lalu, Korea Selatan (Korsel) meluncurkan purwarupa jet tempur
KF-X/IF-X, yang sedang dikembangkannya bersama Indonesia.
Peluncuran purwarupa jet
tempur itu berlangsung setelah proyek bersama jet KF-X/IF-X, yang digodok
Seoul-Jakarta sejak satu dekade lalu, itu sempat mandek karena berbagai kendala
teknis hingga finansial.
Baca Juga:
Mabes TNI Kirim Prajurit Terbaiknya Ikuti Latihan Integrasi Di Australia
Menurut Head of Center for
ASEAN-India Studies, Korea National
Diplomatic Academy (KNDA), Profesor Wongi Choe, proyek ini menjadi salah
satu bukti komitmen Korsel memperkuat relasi dengan Indonesia.
Apalagi, sambung Choe,
Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, turut diundang Presiden Moon Jae-in ke
Seoul dan Sacheon untuk menyaksikan peresmian peluncuran prototipe jet tempur
kolaborasi dua negara itu secara bersama-sama.
Choe menganggap hal itu
adalah "pertanda baik" kolaborasi RI-Korsel dalam proyek yang dinilainya menjadi
salah satu yang terpenting bagi Negeri Ginseng.
Baca Juga:
Panglima TNI Tinjau Kesiapan Puncak Peringatan HUT Ke-79 TNI di Monas
"Indonesia merupakan
mitra strategis Korsel yang spesial. Kami [Korsel] tidak memiliki proyek bersama
serupa dengan negara lain. Proyek KF-X ini adalah proyek pertama kami yang coba
kami kembangkan dengan teknologi dan sumber daya kami sendiri," kata Choe,
dalam workshop terbatas, Indonesian Next Generation Journalist on
Korea, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Apalagi Indonesia
menjadi satu-satunya negara yang Korsel ajak kerjasama dalam proyek alutsista
semacam ini," imbuhnya.
Hal senada juga diutarakan
Direktur Kawasan Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri RI, Santo
Darmosumarto.
Menurutnya, proyek bersama
KF-X/IF-X senilai 7,5 triliun won Korea itu menunjukkan komitmen kerjasama
serta kedekatan Indonesia-Korsel.
"Kehadiran Pak Prabowo
saat peluncuran prototipe di Korsel menunjukkan tekad Indonesia melanjutkan
proyek ini, dan kerjasama pertahanan secara lebih luas dengan Korsel,"
ujar Santo.
Santo menganggap kemitraan
strategis khusus antara Istana Negara dan Istana Kepresidenan Korsel, Cheongwadae, "sangat spesial tidak
hanya dalam kerja sama ekonomi tapi lebih luas dari itu."
Selain proyek KF-X/IF-X, TNI
Angkatan Laut juga sudah mendapat tiga unit kapal selam hasil kerjasama PT PAL
Indonesia dengan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Korea
Selatan.
Tiga unit kapal selam itu
adalah KRI Nagapasa-403 (dibangun di Korsel dengan tenaga kerja dari Daewoo),
KRI Ardadedali-404 (dibangun di Korsel dengan bantuan tenaga kerja dari PT
PAL), dan Alugoro-405 (diproduksi di Surabaya).
Ujud Kemesraan 2 Presiden
Head of Center for
ASEAN-India Studies, Korea National
Diplomatic Academy (KNDA), Profesor Wongi Choe, menilai, Korea Selatan dan
Indonesia terus menunjukkan kemesraannya, terutama di era pemerintahan Presiden
Moon Jae-in dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Hal itu, salah satunya,
terlihat dari saling kunjung antara kedua pemimpin negara.
Jokowi sempat mengajak
Presiden Moon blusukan di Istana
Bogor sekitar 2017 lalu.
Sementara itu, Moon juga
menjamu kunjungan kenegaraan Jokowi di Seoul pada akhir 2019.
Profesor Choe mengatakan,
kedekataan RI-Korsel yang menguat ini merupakan salah satu strategi baru
pemerintahan Moon yang ingin mencoba mencari "teman" dan potensi kerjasama baru
dengan negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Strategi itu, kata Choe,
tertuang dalam kebijakan yang dikenal sebagai New Southern Policy (NSP).
Salah satu alasan
terbentuknya NSP adalah keinginan Korsel melepas ketergantungan terhadap dua
negara adidaya, yakni China dan Amerika Serikat.
Selama ini, Choe memaparkan,
Korsel bergantung pada kerjasama perdagangan dengan China.
Namun, pada saat yang
bersamaan, Seoul juga mengandalkan aliansi keamanan dengan AS demi menghadapi
ancaman nuklir Korea Utara.
Sementara itu, dalam
perkembangan globa saat ini, persaingan China dan AS terus meluas dan semakin pelik.
"Dan Korsel berusaha
tidak terjebak di antara persaingan ini. Karena itu NSP dinilai Korsel sebagai
jalan keluar baru lepas dari ketergantungan tersebut," ujar Choe.
Seoul mengandalkan kerjasama
pembangunan sebagai sarana untuk mempererat ikatannya dengan ASEAN di bawah
kebijakan NSP.
Itu sebabnya, sifat alamiah
NSP, sebagai inisiatif baru di kawasan, berbeda dengan inisiatif dari
negara-negara besar yang berorientasi pada keamanan.
Choe menuturkan, Korsel perlu
diversifikasi perekonomian agar mengurangi ketergantungan dengan perdagangan
China.
Menurutnya, 27 persen
perdagangan Korsel saat ini mengandalkan Negeri Tirai Bambu.
Selain itu, ia menganggap
China saat ini sebagai kompetitor utama Korsel dalam hampir seluruh industri.
Di sisi lain, Choe memaparkan,
banyak potensi kerjasama yang bisa dikembangkan Korsel dengan Indonesia dan
negara Asia Tenggara lainnya atau ASEAN.
Terlebih, menurutnya, Korsel
dan negara ASEAN pun memiliki pandangan yang serupa dalam melihat hubungan
masing-masing dengan China.
"Kita sadar bahwa relasi
bilateral kita (Korsel dan negara ASEAN) dengan China sama-sama naik turun.
Sementara itu, saya pikir terlalu bergantung pada China akan menimbulkan banyak
masalah ke depan," ujar Choe.
"Jadi NSP ini membantu
Korsel (dan negara Asia Tenggara) mengembangkan potensi kerjasama untuk
diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan dengan China,"
paparnya, menambahkan.
Menurut Choe, NSP pada
akhirnya memberikan kesempatan bagi Korsel, Indonesia, dan negara Asia Tenggara
lain untuk mencari strategi alternatif mengembangkan kerjasama perekonomian
tanpa terfokus pada China dan AS.
Meski begitu, Choe menekankan
bahwa baik Korsel dan negara ASEAN tetap memiliki relasi konstruktif dan
seimbang dengan China dan AS. [dhn]