WahanaNews.co | Rancangan Undang-Undang (RUU) Antimonopoli AS, jika diberlakukan, dapat berdampak reorganisasi
atau pecahnya raksasa seperti Google,
Facebook, Apple, dan Amazon.
RUU ini akan menjalani proses voting di Parlemen pada Rabu (23/6/2021)
waktu setempat.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
RUU ini akan menghentikan raksasa
teknologi dari mengoperasikan platform
untuk pihak ketiga, sambil menawarkan layanan yang bersaing secara tidak sehat
di platform tersebut.
Dengan demikian akan memberikan
pukulan besar bagi Apple dan Amazon.
Anggota parlemen juga berusaha
melarang perusahaan teknologi memprioritaskan produk atau layanan mereka
sendiri.
Baca Juga:
Prabowo Dukung Solusi Dua Negara untuk Selesaikan Konflik Palestina
Hal ini berdampak pada layanan mesin
pencarian Google.
RUU ini juga memudahkan
"portabilitas" dan "interoperabilitas" data.
Contohnya, memudahkan orang untuk
keluar dari Facebook, tetapi masih
bisa menyimpan data dan kontak mereka.
Perusahaan teknologi terbesar juga
akan dilarang mengakuisisi pesaing mereka.
Fiona Scott Morton, profesor
Universitas Yale dan mantan pejabat AS yang telah banyak menulis tentang Big Tech, mengatakan, UU tersebut berasal dari kegagalan penegakan antimonopoli di AS
untuk mengurangi dominasi perusahaan teknologi besar.
"Ini adalah peraturan, bukan
tentang monopoli lagi," kata Morton, Minggu (20/6/2021).
Jika RUU diberlakukan, katanya, Apple mungkin harus melepas atau menutup
layanan musiknya (iTunes), sehingga tidak mendiskriminasi saingannya seperti Spotify.
"Apple harus memilih," imbuhnya.
"(Persyaratan interoperabilitas)
memiliki dampak mendalam bagi konsumen, karena akan memungkinkan orang
bergabung dengan jejaring sosial selain Facebook
dan Instagram (yang juga milik Facebook) dan tetap berhubungan dengan
teman-teman mereka," Morton mengatakan.
RUU itu muncul di tengah sikap
pemerintah AS yang lebih agresif terhadap perusahaan teknologi yang
mendominasi.
Presiden AS, Joe Biden, mencalonkan Lina Khan, salah satu orang yang sangat vokal
terhadap Big Tech, untuk mengepalai
Komisi Perdagangan Federal (FTC), salah satu lembaga yang ditugasi untuk
penegakan antimonopoli.
Jalur "Berisiko"
Komite Yudisial DPR telah menjadwalkan
pemungutan suara RUU antimonopoli perusahaan teknologi pada Rabu.
RUU mendapat beberapa dukungan dari
Partai Republik dan Demokrat di tingkat DPR.
Namun dukungan di Senat belum jelas
terlihat.
Langkah-langkah tersebut diambil
setelah penyelidikan 16 bulan di DPR yang dipimpin oleh Ketua Subkomite Antimonopoli, David Cicilline.
Pihaknya menyimpulkan bahwa raksasa
teknologi menyalahgunakan posisi dominan mereka dan memiliki terlalu banyak
kekuatan dalam perekonomian.
Profesor Christopher Sagers, spesialis
undang-undang antimonopoli dari Universitas Negeri Cleveland, mengatakan, RUU itu adalah pendekatan radikal dalam menghadapi kekuatan
perusahaan teknologi yang meningkat.
"(RUU itu) akan memaksa
perusahaan teknologi bekerja seperti maskapai penerbangan atau perusahaan
listrik, yang harus menyediakan layanan mereka kepada siapa pun yang
menginginkannya, dan tidak memberi siapa pun (atau diri mereka sendiri)
keuntungan yang diskriminatif," jelas Sagers.
"Undang-undang ini juga bisa
mengakhiri beberapa produk yang sangat populer," tambahnya.
"Saya tidak yakin bagaimana Apple
dapat terus menjual perangkat lunak selulernya sendiri, misalnya, jika
perangkat iOS atau App Store disebut "platform tertutup".
Dan mungkin ada konsekuensi untuk produk seperti Amazon Prime, Google Maps,
buku yang didigitalkan dalam proyek Google
Book, dan entah apa lagi," kata dia.
Tetapi Sagers mengatakan dampaknya
mungkin tidak buruk dalam jangka panjang.
"Pasar mengatur ulang diri mereka
sendiri dan pesaing baru muncul untuk menggantikan mereka... Tetapi mengatakan
bahwa UU ini tampaknya berisiko dan saya menemukan konsekuensinya sulit
diprediksi," Sagers melanjutkan.
Ponsel Pintar Kosong?
Iain Murray, rekan senior di
Competitive Enterprise Institute, mengatakan, jika RUU itu disahkan, perusahaan
seperti Apple perlu menutup App Store.
Dengan demikian, Apple akan mengirimkan "ponsel kosong" tanpa aplikasi apa
pun, atau memisahkan divisi telepon.
"Sebagian besar, rata-rata
konsumen akan melihat pengalaman penggunanya (user experience) sangat menurun," katanya, dalam sebuah
pernyataan.
UU tersebut meniru Undang-Undang Pasar
Digital Eropa dan kemungkinan akan "mendistorsi" persaingan.
Hal ini disampaikan Aurelien Portuese
dari Information Technology and
Innovation Foundation, sebuah think
tank industri teknologi dan komunikasi.
Portuese mengatakan, RUU tersebut muncul di tengah sentimen kebencian terhadap Big Tech.
Pada akhirnya, konsumen yang akan
dirugikan karena RUU ini memberi ruang bagi perusahaan yang kurang efisien
untuk bersaing.
"Konsumen mungkin tidak lagi bisa
mendapatkan keuntungan dari skala ekonomi perusahaan besar," ujar Portuese, dalam sebuah pernyataan.
RUU itu juga mengungkapkan kurangnya
pemahaman praktis tentang bagaimana cara industri teknologi beroperasi agar
tetap kompetitif, relevan, menguntungkan, dan inovatif, kata analis Olivier
Blanchard di Futurum Research dalam
sebuah unggahan blog.
"Apakah perusahaan Big Tech memegang terlalu banyak
kekuasaan? Anda bisa memperdebatkannya, tetapi tentu saja," tukasnya.
"Tetapi jika tujuannya adalah
untuk mengendalikan perusahaan yang sangat besar dan sangat kuat, Kongres dapat
mengatasi masalah tersebut dengan cara melindungi konsumen dan persaingan,
tanpa merusak sistem secara keseluruhan," jelas dia. [qnt]