WahanaNews.co | Sebanyak 23 negara, termasuk Indonesia, berkomitmen meninggalkan batubara pada Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya.
Namun, komitmen ini harus diiringi kebijakan dan peta jalan yang jelas, termasuk mempercepat transisi ke energi terbarukan.
Baca Juga:
Maksud Hati Cegah Kiamat Batubara, Apa Daya China-India Malah Kena Murka
Rangkaian perundingan pada COP26 dengan fokus energi pekan lalu menghasilkan pernyataan atau komitmen dari 23 negara untuk meninggalkan batubara sebagai energi kotor dan salah satu penyumbang emisi terbesar.
Hal ini menyusul pengumuman dari China, Jepang, dan Korea Selatan untuk mengakhiri pendanaan batubara untuk negara lain.
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil batubara terbesar di dunia menandatangani COP26 Coal to Clean Energy Statement meski tidak secara utuh.
Baca Juga:
Heboh! India dan China Tolak Hapus Batubara di KTT COP26
Indonesia akan mempertimbangkan untuk menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara lebih cepat pada tahun 2040-an jika didukung dengan bantuan teknis dan pendanaan internasional.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins, mengatakan, perundingan tentang energi pada COP26 merupakan salah satu upaya menuju transisi ke energi masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Ia pun mengapresiasi determinasi dan ambisi Indonesia untuk menjadi bagian dalam gerakan ini.
“Kami bangga secara resmi telah meluncurkan Dialog Friends of Indonesia Renewable Energy (FIRE) untuk membantu transisi. Kami terus bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia melalui program pada sektor energi rendah karbon,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Selasa (9/11/2021).
Dalam rangkaian acara COP26, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, juga menegaskan bahwa pemerintah Indonesia memiliki target ambisius untuk menutup operasi PLTU batubara.
Bahkan, Indonesia menargetkan pengoperasian PLTU dengan total kapasitas 9,2 gigawatt (GW) akan dihentikan sebelum tahun 2030.
Menurut Arifin, rencana penghentian PLTU dilakukan untuk mencapai tujuan ekonomi rendah karbon dan nol emisi pada 2060 atau lebih cepat.
Di sisi lain, Indonesia akan terus melakukan transisi ke energi baru terbarukan.
Indonesia diyakini memiliki sumber daya yang melimpah terutama energi surya, hidro, angin, panas bumi, hingga uranium dengan total potensi mencapai 648,3 GW.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, juga menyambut baik pernyataan Indonesia yang ingin menutup operasi PLTU batubara.
Sebab, PLTU batubara di Indonesia dengan kapasitas 31,9 GW telah berkontribusi sangat besar terhadap krisis iklim serta dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat.
Meski demikian, pemerintah dinilai perlu menuangkan komitmen ini dalam berbagai produk kebijakan dan mengimplementasikan dengan peta jalan yang jelas.
Untuk mencapai komitmen ini, seharusnya tidak ada lagi pembangunan PLTU baru.
Padahal, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 masih terdapat 13,8 GW PLTU baru.
“Komitmen ini tidak berarti bila berbagai produk kebijakan di level implementasi justru bertolak belakang. Penutupan PLTU benar-benar harus disertai dengan pengembangan energi bersih dan terbarukan dan tidak lari ke berbagai solusi semu,” ungkapnya.
Perkembangan Negosiasi
Hingga minggu kedua berlangsungnya COP26, terdapat sejumlah kemajuan terkait proses negosiasi yang diharapkan tercapai kesepakatan untuk melengkapi pedoman turunan dan aturan implementasi dari Perjanjian Paris (Paris Rules Book).
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi, menyampaikan, isu prosedural sudah selesai dibahas pada 2-3 hari pertama berlangsungnya COP26.
Negosiator Indonesia telah menyampaikan harapan dan posisi Indonesia dalam COP26.
Sejumlah isu yang telah selesai dibahas di antaranya terkait operasionalisasi dari artikel 6 Perjanjian Paris.
Artikel ini menyangkut instrumen pasar dan nonpasar pembiayaan karbon dalam pemenuhan dokumen kontribusi nasional untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030.
Isu lainnya yang juga telah dibahas pada pekan pertama COP26, yakni terkait kerangka waktu pelaporan NDC, format implementasi aksi adaptasi dan mitigasi, tujuan global adaptasi, dan pendanaan iklim.
Terkait pendanaan, isu yang disoroti ialah janji negara maju untuk membantu negara berkembang dalam mengendalikan perubahan iklim dan merancang kuantifikasi kolektif baru (New Collective Quantified Goal) 2030-2050 untuk mengetahui dana yang dimobilisasi negara maju.
“Akan sulit mengukur dana dari negara maju untuk aksi pengendalian perubahan iklim jika tidak ada target baru yang kuantitatif. Oleh karena itu, perlu collective quantified goal,” ujar Laksmi, yang juga menjadi Ketua Delegasi Indonesia COP26. [qnt]