Dwi, dalam keterangan pers diterima media pada Kamis (15/9/2022), menyampaikan, salah satu isu global yang memengaruhi industri migas dunia merupakan transisi energi.
Berdasarkan yang disampaikan dalam protokol Kyoto, Paris Agreement, atau kesepakatan global lainnya yang diciptakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia, komitmennya bertujuan untuk mengurangi emisi karbon.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Dalam sektor migas, ada beberapa perusahaan migas terkemuka yang sudah mencanangkan pengurangan emisi karbon ke dalam strategi portofolio mereka.
Kondisi inilah yang membuat persaingan untuk menarik investasi ke sektor migas semakin sengit.
“Namun, di sisi lain, pemulihan ekonomi dunia pascapandemi Covid-19, dan krisis Rusia-Ukraina, turut mendorong naiknya permintaan dan harga migas. Dan oleh karenanya, tekanan untuk meningkatkan produksi migas juga semakin tinggi,” tuturnya.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Selanjutnya, Dwi mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara merupakan yang tercepat di dunia, sehingga kawasan ini membutuhkan energi untuk menopang pertumbuhan tersebut.
“Kami mendukung penuh komitmen pemerintah terhadap energi terbarukan, namun kami juga sangat yakin bahwa sektor migas, khususnya gas, masih sangat relevan dalam memainkan peran yang lebih strategis dalam transisi energi. Tantangannya kini adalah bagaimana meningkatkan produksi, sekaligus mengurangi emisi karbon pada saat yang bersamaan,” katanya.
Dwi menambahkan, dengan mempertimbangkan potensi sumber daya dan mengusahakan target emisi, Indonesia tidak hanya sedang mengejar target produksi minyak sebesar 1 juta bpd dan gas sebesar 12 miliar kubik pada 2030 mendatang, namun juga meningkatkan dampak berganda bagi perekonomian serta mendorong keseimbangan industri energi dengan lingkungan.