WAHANANEWS.CO, Jakarta - Jet tempur kebanggaan India, Rafale buatan Prancis, berhasil dijatuhkan jet tempur J-10C milik Pakistan yang merupakan produksi China, belum lama ini.
Sumber militer di Amerika Serikat dan Prancis mengonfirmasi adanya insiden jatuhnya Rafale, meskipun jumlahnya tidak sebanyak klaim yang dilontarkan oleh pihak Pakistan.
Baca Juga:
Konflik India-Pakistan Capai Titik Kritis, Biaya Perang Tembus 500 Miliar Dolar
Menurut laporan Reuters, operasi udara Pakistan dengan J-10C mendapat dukungan dari China, termasuk bantuan intelijen, pengawasan, dan pengintaian.
Rudal yang diduga menjadi penyebab jatuhnya Rafale adalah PL-15, rudal jarak jauh buatan China.
Meski tidak secara gamblang mengakui kehilangan jet Rafale, otoritas India mengonfirmasi adanya kerugian dalam konfrontasi udara tersebut.
Baca Juga:
J-10C China Jadi Primadona Tempur Usai Rontokkan Rafale, Saham Meledak 53%
“Kami sedang berada dalam situasi tempur. Kehilangan adalah bagian dari itu,” ujar AK Bharti, perwira senior Angkatan Udara India. Banyak pengamat menilai India telah meremehkan kekuatan udara Pakistan yang kini diperkuat teknologi China.
Dalam kolom opini di Al Jazeera, mantan kepala investasi Citigroup, Yousuf Nazar, menilai insiden ini telah mencoreng citra India sebagai kekuatan regional.
Ia menyebut bahwa India terlalu membanggakan Rafale dan meremehkan sistem tempur Pakistan yang telah mendapatkan suntikan teknologi dari Beijing.
Sejumlah analis pertahanan India pun telah lama mengingatkan bahwa kesiapan militer India masih tertinggal jika dibandingkan dengan Pakistan yang memiliki dukungan aktif dari China.
Sementara itu, dukungan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia dinilai tidak memadai untuk menghadapi tantangan saat ini.
Masih terdapat sejumlah pertanyaan teknis mengenai penyebab jatuhnya Rafale.
Ada kemungkinan faktor non-teknis turut memengaruhi, termasuk keterampilan pilot dan manuver taktis di medan perang.
“Kalau benar India kehilangan beberapa unit Rafale, maka masalahnya bukan hanya pada pesawatnya, tapi juga pada kesiapan tempur secara menyeluruh. Pertempuran modern menuntut integrasi sistem, koordinasi komando, dan kemampuan bertahan tinggi,” terang Singleton, analis dari Foundation for Defense of Democracies.
Sorotan tajam juga diarahkan pada rudal PL-15 yang diduga menjatuhkan Rafale.
Menurut Justin Bronk dari Royal United Services Institute (RUSI), rudal beyond visual range (BVR) ini sebanding dengan AIM-120 AMRAAM milik AS dan bahkan mengungguli R-77 buatan Rusia.
Rudal tersebut dilengkapi radar active electronically scanned array (AESA) mini dengan estimasi jangkauan hingga 200 km, meskipun varian ekspornya, PL-15E, dibatasi sekitar 145 km.
“PL-15 adalah ancaman nyata yang kini diperhatikan serius oleh militer AS,” ujar seorang eksekutif industri pertahanan yang dikutip Reuters.
Jet J-10C sendiri dilengkapi radar AESA, sistem infrared search and track (IRST), serta perangkat pendukung elektronik canggih (electronic support measure/ESM) yang membuatnya unggul dalam kesadaran situasional di medan tempur.
Sementara itu, Rafale memang termasuk jet tempur generasi 4,5 dengan kecanggihan tinggi. Namun, salah satu kekurangannya adalah tidak dirancang sebagai pesawat siluman penuh.
Ini kemungkinan menjadi kelemahan utama dalam pertarungan melawan J-10C.
“Rafale bukan jet stealth. Meskipun banyak desainnya yang bertujuan mengurangi jejak radar dan inframerah, seperti penggunaan material komposit dan bentuk ekor kecil, faktanya itu belum cukup untuk menghindari deteksi oleh radar Pakistan atau rudal jarak jauh mereka,” ungkap Harrison Kass, mantan pilot Angkatan Udara AS.
Di Pakistan, keberhasilan menumbangkan Rafale menjadi alasan perayaan nasional. “Kebanggaan India telah runtuh bersama jatuhnya Rafale,” sindir mantan Perdana Menteri Pakistan, Raja Pervez Ashraf.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]