WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan politik dan sosial kembali memuncak di Amerika Serikat.
Presiden Donald Trump mengumumkan pengerahan 2.000 anggota Garda Nasional dan 700 tentara Marinir untuk “membebaskan” Los Angeles dari kekacauan akibat demonstrasi besar-besaran.
Baca Juga:
Claudia Sheinbaum Disudutkan AS, Ini Respons Pedas Sang Presiden Meksiko
Namun langkah militer ini justru memicu penolakan keras, khususnya dari komunitas di Little Tokyo, kawasan yang terkenal sebagai pusat budaya Jepang-Amerika.
Warga setempat menyuarakan kekecewaannya.
“Tidak, terima kasih Presiden,” ujar sejumlah warga yang tinggal dan bekerja di Little Tokyo kepada Reuters.
Baca Juga:
Separuh Asia Tenggara Pilih China, Amerika Serikat Kehilangan Pengaruh
Mereka menilai kehadiran pasukan militer justru memperkeruh suasana, alih-alih menciptakan ketertiban.
Menurut Sulieti Havili (25), yang mengelola klub Pokemon dengan lebih dari 6.000 anggota yang rutin berkumpul di kawasan itu, langkah Trump justru memperparah situasi.
“Presiden yang mengirim Garda Nasional dan Marinir hanya memperburuk keadaan, membuat para pengunjuk rasa menjadi gila,” katanya sambil memunguti sampah bersama rekan satu klubnya, Nolberto Aguilar (42).
Aguilar juga menyayangkan tindakan pemerintah federal yang dianggap menutup telinga terhadap suara warga dan para pemimpin lokal. “Mereka tidak melakukan apa pun untuk melindungi komunitas ini,” ujarnya.
Pengerahan ribuan tentara ini dinilai sebagai buntut dari protes terhadap razia besar-besaran imigran yang dilakukan ICE (Imigration and Customs Enforcement).
Banyak warga menilai kebijakan ini menyasar imigran yang taat hukum dan memicu keresahan luas. “Trump mengipasi api yang sudah dinyalakan oleh penggerebekan ICE,” kata Aguilar.
Sementara itu, Gubernur California Gavin Newsom memperingatkan bahwa penggunaan militer dalam menghadapi protes sipil dapat “memicu situasi yang mudah meledak” dan menyebut bahwa demokrasi sedang berada di bawah ancaman serius.
Wali Kota Los Angeles Karen Bass bahkan menuding Presiden sengaja menciptakan “kekacauan” demi kepentingan politik.
Di lapangan, suasana Little Tokyo berubah drastis. Malam-malam terakhir dipenuhi dengan bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan, grafiti anti-Trump dan anti-ICE merajalela di tembok-tembok toko dan restoran, serta penggunaan granat kejut dan peluru "tidak mematikan" oleh aparat kepolisian.
Anthony, karyawan di sebuah kedai teh, memilih hanya menyebut nama depannya karena takut akan pembalasan.
“Tidak diragukan lagi bahwa presiden yang mengirim ribuan Garda Nasional dan 700 Marinir tidak melakukan apa pun selain membuat para pengunjuk rasa lebih agresif,” ucapnya.
Samantha Lopez, keturunan imigran Filipina yang bekerja di kedai es krim Korea di kawasan itu, mengaku memahami kemarahan para demonstran namun menyayangkan kekerasan yang terjadi.
“Itu hanya penanganan yang buruk terhadap protes yang tetap damai sampai mereka dihadang oleh petugas,” ujar Lopez. “Itu buruk bagi bisnis, dan itu buruk bagi lingkungan ini.”
Sebagian besar warga yang diwawancarai menolak disebutkan identitas lengkapnya karena kekhawatiran akan tindakan represif dari pemerintah federal.
Banyak dari mereka adalah imigran atau memiliki keluarga yang status imigrasinya rentan.
Ketegangan sosial dan politik di AS kini memasuki babak baru, di mana komunitas-komunitas lokal mulai terang-terangan menolak pendekatan militeristik dari pemerintah pusat, dan memilih untuk bersuara demi perlindungan komunitas dan demokrasi yang lebih sehat.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]