WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sungai Tigris, salah satu sungai paling bersejarah di dunia yang mengalir di wilayah Irak, kini berada di ambang krisis serius.
Tingkat pencemaran yang tinggi serta penyusutan volume air yang semakin drastis menjadikan sungai legendaris ini terancam kehilangan fungsinya sebagai sumber kehidupan.
Baca Juga:
Pasca Jatuhnya Rezim Assad, Irak Tutup Perbatasan Dengan Suriah
Kondisi tersebut bukan hanya membahayakan jutaan penduduk Irak, tetapi juga mengancam keberlangsungan komunitas-komunitas kuno yang telah hidup berdampingan dengan sungai ini selama ribuan tahun.
Krisis yang melanda Sungai Tigris dipicu oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Perubahan iklim global menyebabkan penurunan curah hujan secara signifikan, sementara pembangunan bendungan besar-besaran di negara-negara hulu seperti Turki dan Iran semakin mengurangi aliran air ke wilayah Irak.
Baca Juga:
Irak Layangkan Nota Protes ke PBB Atas Pelanggaran Udara oleh Pesawat Israel
Situasi ini diperparah oleh lemahnya sistem pengelolaan limbah domestik dan industri yang membuat sungai menjadi tempat pembuangan akhir berbagai jenis limbah berbahaya.
Jika tidak ada langkah darurat dan terkoordinasi, para pakar memperingatkan bahwa kehidupan di sepanjang aliran Sungai Tigris akan mengalami perubahan yang bersifat mendasar dan permanen, baik dari sisi ekologi, sosial, maupun budaya.
Kecemasan mendalam juga dirasakan oleh Sheikh Nidham Kreidi al-Sabahi, seorang tokoh agama Mandaean, salah satu agama Gnostik tertua di dunia.
Dalam ajaran Mandaean, air sungai yang mengalir memiliki makna sakral dan wajib digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk untuk minum.
Pria berusia 68 tahun itu mengatakan dia tidak pernah jatuh sakit karena meminum air Sungai Tigris dan percaya bahwa selama air itu mengalir, maka air itu bersih.
Namun kenyataannya, air tersebut mungkin akan segera berhenti mengalir sama sekali.
"Tidak ada air, tidak ada kehidupan," kata Sheikh Nidham yang tinggal di kota Amarah, Irak selatan, dikutip AFP, Rabu (17/12/2025).
Bagi umat Mandaean, air merupakan inti dari seluruh praktik keagamaan mereka.
Setiap upacara pernikahan harus diawali di sungai, dan menjelang ajal, seorang penganut harus dibawa ke tepian sungai untuk menjalani ritual pembersihan terakhir.
"Bagi agama kami, pentingnya air seperti udara. Tanpa air, kehidupan tidak akan ada," jelas Sheikh Nidham.
Secara historis, Sungai Tigris bersama Sungai Efrat membentuk wilayah Mesopotamia yang dikenal sebagai “Bulan Sabit Subur”.
Di kawasan inilah peradaban manusia berkembang pesat: pertanian terorganisasi pertama kali muncul, sistem tulisan diciptakan, dan roda ditemukan, yang kemudian mengubah arah sejarah dunia.
Saat ini, Sungai Tigris masih menjadi sumber kehidupan bagi sekitar 18 juta warga Irak.
Airnya dimanfaatkan untuk irigasi pertanian, jalur transportasi, kegiatan industri, hingga pembangkit tenaga listrik. Namun, kondisi sungai terus memburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Kerusakan infrastruktur air akibat konflik berkepanjangan sejak 1991 membuat sistem sanitasi Irak tidak pernah pulih sepenuhnya.
Data menunjukkan hanya sekitar 30 persen rumah tangga di wilayah perkotaan yang terhubung dengan fasilitas pengolahan limbah.
Angka tersebut bahkan jauh lebih rendah di wilayah pedesaan, yakni hanya sekitar 1,7 persen.
Akibatnya, limbah cair rumah tangga, sisa minyak, hingga limbah medis dibuang langsung ke Sungai Tigris tanpa pengolahan memadai.
Selain pencemaran, volume air sungai juga mengalami penurunan signifikan.
Dalam tiga dekade terakhir, pembangunan bendungan raksasa di wilayah hulu telah mengurangi aliran air yang mencapai Baghdad hingga 33 persen.
Krisis iklim memperparah keadaan. Penurunan curah hujan hingga 30 persen memicu kekeringan terburuk dalam satu abad terakhir, sementara kebutuhan air bersih terus meningkat.
Para ahli memprediksi permintaan air di Irak akan melampaui pasokan pada tahun 2035.
Pemerintah Irak sebenarnya telah menandatangani kesepakatan dengan Turki pada November lalu untuk mengatasi persoalan ini, yang dikenal dengan istilah “minyak untuk air”.
Namun, kesepakatan tersebut menuai kritik karena dinilai tidak memiliki rincian teknis yang jelas serta tidak bersifat mengikat secara hukum.
Di tengah ketidakpastian ini, Sheikh Nidham mengaku sangat khawatir terhadap masa depan komunitas Mandaean di Irak selatan.
Dari estimasi populasi global antara 60.000 hingga 100.000 jiwa, kini kurang dari 10.000 orang Mandaean yang masih bertahan di Irak.
Bagi mereka, matinya Sungai Tigris bukan sekadar bencana lingkungan, melainkan ancaman langsung terhadap kelangsungan hidup dan identitas komunitas kuno tersebut.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]