WAHANANEWS.CO, Jakarta - Amerika Serikat meningkatkan tekanan terhadap Caracas dengan mengklasifikasikan Presiden Venezuela Nicolas Maduro beserta sekutunya sebagai bagian dari organisasi teroris asing, sebuah langkah yang membuka ruang hukum yang lebih luas bagi pemerintahan Donald Trump untuk mengambil tindakan lanjutan terhadap negara tersebut.
Penetapan yang memasukkan jaringan “Cartel de los Soles”—istilah yang oleh sejumlah analis dinilai lebih menggambarkan dugaan korupsi pejabat dibanding struktur kartel konvensional—memberi tambahan kewenangan bagi Washington untuk membekukan aset dan infrastruktur yang terkait dengan Maduro.
Baca Juga:
Indonesia–AS Mantapkan Kolaborasi Pertahanan, Bahas Super Garuda Shield dan AUMX 2025
Namun sejumlah pakar hukum menegaskan bahwa status tersebut tidak serta-merta memberikan izin eksplisit bagi pemerintah AS untuk melakukan penggunaan kekuatan mematikan.
Meskipun demikian para pejabat pemerintahan Trump berulang kali menyampaikan bahwa penetapan salah satu instrumen kontra-terorisme paling kuat milik Departemen Luar Negeri tersebut membuka opsi militer yang lebih luas bagi AS untuk melakukan operasi di wilayah Venezuela.
Dalam laporan CNN International pada Selasa (25/11/2025), para analis menilai istilah Cartel de los Soles merujuk pada jaringan longgar yang melibatkan sejumlah figur dalam tubuh angkatan bersenjata Venezuela yang diduga terhubung dengan perdagangan narkotika.
Baca Juga:
AS Punya Dua Wali Kota Muslim, Ini Sosoknya
Maduro terus membantah tuduhan keterlibatan dalam perdagangan narkoba, sementara pemerintahannya juga secara konsisten menyangkal keberadaan kartel tersebut yang menurut beberapa pakar memang tidak berbentuk sebagai organisasi tunggal yang terstruktur.
Penetapan ini diumumkan saat militer AS menempatkan lebih dari selusin kapal perang dan sekitar 15.000 personel di kawasan Karibia dalam operasi antinarkotika yang dinamai “Operation Southern Spear,” dan laporan lapangan menyebutkan bahwa sejumlah serangan terhadap kapal target telah menyebabkan puluhan korban tewas.
Trump disebut telah menerima pemaparan dari pejabat tinggi pertahanan terkait berbagai opsi terhadap Venezuela, mulai dari serangan terhadap fasilitas militer hingga operasi khusus, sementara opsi untuk tidak mengambil tindakan apapun tetap berada dalam daftar resmi.
Di sisi lain Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Dan Caine bersama penasihat seniornya David Isom dijadwalkan mengunjungi Puerto Rico untuk menyampaikan penghargaan kepada pasukan yang mendukung operasi di kawasan Laut Karibia.
Sementara itu jajak pendapat CBS News/YouGov yang dirilis Minggu (23/11/2025) menunjukkan 70 persen warga Amerika menolak keterlibatan militer AS di Venezuela, sementara 30 persen lainnya memberi dukungan terhadap opsi tersebut.
Selain itu 76 persen responden menilai pemerintahan Trump belum memberikan penjelasan yang cukup jelas mengenai posisi AS terkait kemungkinan tindakan militer di negara Amerika Selatan tersebut.
Secara resmi pemerintah AS menyatakan operasi yang berlangsung bertujuan menekan arus migrasi dan perdagangan narkoba ilegal, namun sejumlah pejabat menyebut bahwa perubahan rezim bukanlah tujuan utama meski dapat menjadi “efek samping” dari tekanan tersebut.
Menurut seorang pejabat AS, Trump berharap tekanan ekonomi, politik, dan militer yang ada cukup kuat untuk memaksa Maduro mundur tanpa perlunya konfrontasi bersenjata.
Pemerintah Venezuela merespons tajam langkah Washington dengan menyebut label organisasi teroris asing tersebut sebagai “fabrikasi konyol” dan menyamakan tindakan baru itu dengan serangkaian “agresi” sebelumnya yang menurut Caracas berakhir dengan kegagalan.
Di tengah retorika yang meningkat, Trump juga memberikan sinyal diplomasi dengan menyatakan pekan lalu bahwa Maduro “ingin berbicara,” dan dirinya terbuka untuk melangsungkan dialog “pada waktu tertentu.”
Pada hari yang sama Amerika Serikat juga memamerkan kekuatan militernya secara terbuka di dekat Venezuela, ketika enam pesawat militer termasuk jet tempur F/A-18E, pembom B-52, dan pesawat pengintaian muncul bergantian di lepas pantai negara tersebut.
Ketidakpastian juga meningkat di sektor penerbangan sipil setelah Reuters melaporkan tiga maskapai internasional membatalkan penerbangan dari Venezuela sepanjang akhir pekan menyusul peringatan Administrasi Penerbangan Federal (FAA) mengenai situasi berbahaya ketika melintasi wilayah udara negara tersebut.
Dalam analisis terpisah, pengamat hubungan internasional Marcus Reid mengatakan, “Label teroris ini bisa jadi instrumen strategis yang memberi Washington ruang manuver yang jauh lebih besar dalam bidang diplomasi, keamanan, dan operasi non-kinetik.”
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]