WahanaNews.co, Jakarta - Sebanyak sebelas orang warga Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, diduga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Myanmar. Para korban diduga disekap di wilayah konflik Myawaddy, Myanmar.
Mereka semula disebut mendapatkan tawaran kerja di luar negeri hingga berujung dugaan penyekapan di Myanmar tersebut.
Baca Juga:
Imbas Serangan Udara Junta Militer, 11 Warga Myanmar Tewas
Salah satu korban, Samsul (39), sempat mengirim titik lokasi terakhir dirinya kepada keluarga di Sukabumi via aplikasi pesan. Pesan itu dikirim pada akhir Agustus 2024 lalu. Samsul (39) adalah warga Desa Kebonpedes, Sukabumi yang semula mendapat tawaran kerja di Thailand sebelum berakhir di Myanmar.
"Akhir bulan Agusts itu paman saya ngirim ke ibu saya. Mengabari di sana itu nelepon sambil nangis ingin pulang, ada sekitar satu bulan ke belakang," kata Dani Ramdani (23) selaku sepupu korban, Kamis (12/9) mengutip dari detikJabar.
Titik koordinat peta daring yang dikirim Samsul itu terlihat korban berada di sebuah kawasan perumahan vertikal yang disebut KK Park di Myawaddy, Myanmar.
Baca Juga:
Keluarga WNI Korban Penyiksaan di Myanmar, Diperiksa Bareskrim
Mengutip dari pemberitaan sejumlah media luar negeri seperti Reuters, BBC, DW, hingga South China Morning Post, KK Park diduga dikenal sebagai tempat penampungan korban perdagangan manusia. Kawasan itu berada di dekat perbatasan Myanmar-Thailand.
"Para pekerja diperdagangkan ke daerah tersebut, yang dikenal sebagai KK Park, oleh geng yang memaksa mereka untuk menipu orang secara online," demikian ditulis di salah satu liputan investigasi khusus Reuters yang terbit 2023 lalu.
Pada 2023 lalu, sepasang pasutri asal Jakarta pun pernah disekap di kawasan tersebut setelah menjadi korban dengan skema yang sama yakni penawaran kerja yang berakhir dengan penyekapan dan paksaan untuk bekerja sebagai scammer atau dijerat ke investasi bodong.
Mengutip dari detikJabar, lokasi Samsul yang dikirim ke keluarganya menunjukkan korban berada di sebuah kompleks bangunan dengan atap berwarna oranye, yang berjajar. Lokasinya hanya berjarak kurang lebih 500 meter ke arah timur laut dari pasangan pasutri asal Jakarta yang disekap pada 2023 lalu.
Keluarga Samsul bersama korban lain yang mengalami nasib serupa, mencoba meminta bantuan dari berbagai pihak, termasuk SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) di Jakarta.
"Kami sudah dua kali ke SBMI, tapi masih menunggu informasi yang jelas dari sana," ujar Dani.
Namun, sejauh ini belum ada kepastian mengenai langkah yang akan diambil untuk memulangkan Dani dan para korban lainnya.
Kronologi penyekapan 11 warga Sukabumi di Myanmar
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Sukabumi Jejen Nurjanah mengatakan para korban TPPO itu mulanya ditawari bekerja di Thailand oleh temannya sebagai admin salah satu perusahaan keuangan digital.
Mereka berangkat menggunakan visa kunjungan dengan rentang waktu bulan Mei hingga Juni.
"Ya ilegal, visanya visa kunjungan, terus dia itu hanya melalui via telepon, ditelepon sama temannya buat kerja di Thailand, buat paspor di sana, sudah ada yang jemput di sana, ternyata dia diseberangkan ke negara yang konflik," kata Jejen, Kamis.
Dia mengatakan para korban tergiur dengan iming-iming upah tinggi mulai dari Rp35 juta. Namun pada kenyataannya, mereka harus mengikuti pelatihan (training) selama tiga bulan tanpa gaji dan gaji pertama pun antara Rp3,5 juta sampai Rp6,5 juta.
"Iya (temannya) yang di Myanmar itu, dia sudah kerja di sana, (katanya) kerjanya enak, kerjanya sebagai admin salah satu perusahaan. Jadi korban tergiur dengan iming-iming gaji sebesar Rp35 juta per bulan," ujarnya.
"Faktanya kemarin gajinya itu variasi, ada yang nerima Rp5 juta, ada Rp6,5 juta, itu pun setelah training tiga bulan baru nerima. Kan training dulu untuk mengoperasikan jadi operator itu harus seperti apa, hanya dikasih makan (selama training)," sambungnya.
Setelah tiba di Myanmar, mereka ternyata bekerja sebagai scammer online. Kemudian, saat kabar pengaduan sampai ke atasannya, para korban pun mendapatkan tindakan penyekapan.
"Iya disekap, ketika dia sudah ada yang tahu, bocor ke bosnya informasinya, dia disekap nggak dikasih makan atau hanya dikasih makan satu kali sehari dan itu pun makanan sisa. Memang kasus seperti ini kalau tahu ada pengaduan, ya disekap," ungkapnya.
Dia mengatakan selama ini proses pemulangan para korban TPPO tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih, para korban berada di wilayah konflik.
"(Kenapa sulit dipulangkan) kan negara konflik, sementara KBRI tidak punya kewenangan untuk mengambil warga negaranya ke tempat asal dan juga itu berbahaya sekali karena di sana yang paling berkuasa adalah pemberontak yang mungkin risikonya sangat tinggi, itu menurut keterangan dari Kementerian Luar Negeri, nyawa taruhannya," kata Jejen.
"Tapi dengan berbagai cara karena negara ini harus hadir, bahwa ada kasus seperti ini udah tanggungjawab negara. Berbagai upaya SBMI untuk melakukan penekanan ke pihak terkait ke pemangku kewenangan ini tentunya adalah negara melalui Kemenlu agar mereka dapat kembali dengan selamat," imbuhnya.
Adapun 11 warga Sukabumi yang dikabarkan menjadi korban TPPO ke Myanmar itu tujuh di antaranya dari Desa Kebonpedes, dua korban Desa Jambenenggang, satu warga Desa Cireunghas, dan satu diantaranya korban berasal dari Desa Cipurut, Kecamatan Cireunghas.
Sebelumnya, puluhan WNI yang diduga jadi korban TPPO di Myawaddy, Myanmar mengunggah video minta tolong pemerintah Indonesia untuk segera membebaskan mereka.
Pihak Kementerian Luar Negeri RI berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangoon, Myanmar, untuk menelusuri dugaan kuat sejumlah WNI jadi korban TPPO.
Kemlu melalui rilisnya di situs resmi kementerian tersebut menyatakan bahwa para WNI ini diduga disekap di wilayah konflik yang dikuasai pemberontak Myanmar.
"KBRI Yangon telah lakukan koordinasi dan komunikasi dengan menindaklanjuti dengan otoritas Myanmar. KBRI juga melakukan komunikasi informal ke jejaring yg berada di Myawaddy," demikian pernyataan dari Kemlu RI pada 9 September lalu.
Sejak tahun 2020 hingga Maret 2024, Kemlu dan Perwakilan RI telah menangani 3.703 WNI yang terlibat online scam. Khusus di Myanmar, selama tahun 2024, terdapat 107 pengaduan di mana 44 telah berhasil pulang ke Indonesia.
"Kemlu senantiasa mengimbau agar para WNI berhati hati dan waspada atas tawaran kerja di luar negeri namun tidak dilengkapi visa kerja resmi dan tidak menandatangani kontrak sebelum berangkat. Diimbau para WNI meminta informasi dan prosedur resmi bekerja ke luar negeri melalui Kemenaker, BP2MI atau Disnaker setempat," demikian keterangan dari Kemlu RI.
[Redaktur: Alpredo Gultom]