WahanaNews.co | Keputusan China dan India yang menolak kata “penghapusan batubara” pada kesepakatan forum KTT perubahan iklim COP26 menimbulkan tanda tanya besar.
Presiden COP26 bahkan melontarkan rasa heran dengan hal yang terjadi pada menit-menit terakhir itu.
Baca Juga:
Heboh! India dan China Tolak Hapus Batubara di KTT COP26
Mengutip CNBC International, Presiden COP26 yang juga anggota parlemen Inggris, Alok Sharma, mengatakan bahwa pihaknya meminta kedua negara itu menjelaskan mengapa mereka bersikeras untuk mengganti kata itu pada menit-menit terakhir.
Ini menurutnya dilatarbelakangi oleh beberapa hal yang sedang dikerjakan negara itu.
Saat ini, kata “penghapusan” telah diganti dengan diksi “penurunan bertahap”.
Baca Juga:
Kejelasan Politik Wajib Kawal Janji “Ceraikan” Batubara
"Selama beberapa minggu terakhir jelas ada negara-negara tertentu yang tidak ingin memiliki bahasa batu bara dalam forum ini," katanya.
"China dan India harus menjelaskan diri mereka sendiri kepada negara-negara yang paling rentan terhadap iklim di dunia," lanjutnya.
Meski begitu, ia juga masih meluapkan kegembiraannya dengan kesepakatan mengenai batu bara yang tetap ditandatangani oleh sekitar 200 negara dunia itu.
Sharma mengatakan, ini merupakan langkah yang sangat besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim akibat polusi.
"Jika, pada waktu itu, saya katakan kepada Anda, bahwa di sini, menjelang akhir tahun ini di COP, kami akan memastikan bahwa semua ekonomi terbesar tidak akan lagi mendanai proyek batubara internasional dan kami telah berhasil mendapatkan jenis kesepakatan yang kita miliki di sini, saya pikir orang akan skeptis," katanya.
"Benar-benar ada kemajuan. Haruskah kita pergi lebih cepat? Tentu saja," sambungnya.
Dalam forum COP26 yang dilaksanakan di Glasgow, Inggris, para pemimpin dunia mendiskusikan beragam cara untuk menekan angka kenaikan suhu dunia tidak melewati 1,5 derajat celcius sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Paris sebelumnya.
Sementara itu, ancaman perubahan iklim juga semakin lantang disuarakan, terutama di negara kepulauan kecil di Pasifik seperti Tuvalu, terancam tenggelam akibat naiknya permukaan laut.
Menteri Luar Negeri Tuvalu, Simon Kofe, bahkan menyampaikan pidatonya kepada COP26 dengan berdiri di atas air laut yang mengenai lututnya.
Tak hanya Pasifik, ancaman perubahan iklim juga dialamatkan ke Indonesia.
Hal ini diingatkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beberapa bulan lalu.
Biden menyebut bahwa Jakarta bisa tenggelam dikarenakan perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia. [dhn]