WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah ketegangan regional yang semakin memanas, dunia kembali dikejutkan oleh tragedi kemanusiaan berdarah yang menyoroti dampak brutal dari konflik bersenjata.
Yaman, negeri yang telah lama dirundung kekacauan, menjadi saksi bisu dari insiden memilukan terbaru.
Baca Juga:
Dihantam Serangan AS, Houthi Balas dengan Rudal dan Seruan Perang
Saat operasi militer Amerika Serikat terhadap kelompok Houthi di Yaman semakin gencar, korban sipil pun kembali berjatuhan dalam jumlah besar.
Pada akhir April 2025, sebuah serangan udara menghantam pusat detensi migran Afrika di Saada, menewaskan sedikitnya 68 orang.
Insiden ini segera menuai gelombang kecaman internasional, memperkuat kekhawatiran tentang risiko besar terhadap warga sipil dalam perang yang kian brutal.
Baca Juga:
Houthi Gempur Kapal AS, Washington Janjikan Serangan Tanpa Henti
Televisi Al Masirah, saluran yang dikelola kelompok Houthi, melaporkan bahwa serangan tersebut merupakan bagian dari operasi udara intensif Amerika Serikat yang selama enam minggu terakhir menargetkan faksi bersenjata yang mendapat dukungan dari Iran itu.
Sebelumnya, Houthi melakukan serangkaian serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah, mengklaim bahwa tindakan mereka merupakan solidaritas terhadap rakyat Palestina.
Seorang pejabat pertahanan AS, yang berbicara tanpa menyebutkan nama, mengonfirmasi bahwa pihak militer tengah menyelidiki laporan adanya korban sipil.
"Kami menangani klaim ini dengan sangat serius. Penilaian kerusakan pertempuran dan penyelidikan sedang berlangsung," katanya kepada Reuters pada Selasa, 29 April 2025.
Kendati demikian, militer AS menolak mengungkapkan rincian target serangan mereka dengan alasan menjaga keamanan operasional.
Rekaman yang disiarkan oleh Al Masirah memperlihatkan adegan mengerikan: tubuh korban berlumuran debu dan darah tersebar di antara reruntuhan bangunan.
Para petugas penyelamat terlihat berupaya keras mengevakuasi korban selamat, termasuk seorang yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan di atas tandu.
Teriakan memilukan terdengar dari seorang penyintas yang berbahasa Amharik, bahasa utama di Ethiopia, memanggil ibunya di tengah kekacauan tersebut.
Beberapa korban selamat yang diwawancarai di rumah sakit memberikan gambaran mengerikan tentang peristiwa tersebut.
"Saya terlempar ke udara sebelum jatuh menghantam tanah," ungkap salah satu penyintas.
Menurut juru bicara politik Houthi, Mohammed Abdulsalam, pusat detensi tersebut menampung lebih dari 100 migran Afrika tanpa dokumen.
Melalui platform X, Abdulsalam mengecam keras serangan itu dan menyebutnya sebagai "kejahatan brutal" yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Dalam pernyataan terpisah, juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, menegaskan bahwa kelompoknya akan melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah sebagai bentuk balasan.
Bukti Visual dan Jejak Sejarah Kelam
Reuters melakukan verifikasi independen terhadap lokasi serangan melalui ciri-ciri visual dalam video, termasuk bentuk bangunan bergaya gudang dengan atap seng yang rusak parah.
Citra satelit yang diambil sehari sebelumnya menunjukkan bahwa atap bangunan tersebut masih utuh, memperkuat bukti bahwa serangan udara baru saja terjadi.
Perlu diketahui, lokasi ini sebelumnya juga pernah menjadi target serangan udara koalisi pimpinan Saudi pada tahun 2022, menambah panjang daftar tragedi yang dialami tempat itu.
Christine Cipolla, Kepala Delegasi Komite Internasional Palang Merah (ICRC) untuk Yaman, mengungkapkan keprihatinannya.
"Sulit membayangkan, orang-orang yang sudah tidak berdaya malah menjadi korban dalam pertempuran ini," katanya dengan nada penuh duka.
Tragedi Saada ini tercatat sebagai salah satu serangan udara paling mematikan dalam operasi militer AS terbaru di Yaman.
Sebelumnya, serangan terhadap terminal bahan bakar di Laut Merah pada awal April telah menewaskan sedikitnya 74 orang.
Antara Target Militer dan Korban Sipil
Sejak 15 Maret 2025, melalui operasi bertajuk Operation Rough Rider, militer AS mengklaim telah menghantam lebih dari 800 target di wilayah Yaman, menewaskan ratusan pejuang dan beberapa pemimpin senior Houthi.
Namun, meningkatnya jumlah korban sipil memunculkan kekhawatiran yang semakin besar.
Tiga senator dari Partai Demokrat bahkan mengirim surat terbuka kepada Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, meminta pertanggungjawaban atas jatuhnya korban sipil akibat operasi tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menyatakan keprihatinannya.
"Serangan-serangan ini meningkatkan risiko besar terhadap populasi sipil di Yaman," ujar juru bicara PBB, Stephane Dujarric, pada konferensi pers Senin lalu.
Ia menambahkan bahwa semua pihak harus mematuhi hukum humaniter internasional, terutama dalam melindungi warga sipil dari dampak peperangan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]