WAHANANEWS.CO. Jakarta - China secara tak terduga meraih keuntungan strategis dari bentrokan militer antara India dan Pakistan.
Keuntungan ini muncul berkat keberhasilan jet tempur buatan China yang terbukti efektif dalam pertempuran nyata antara dua negara bersenjata nuklir di Asia Selatan.
Baca Juga:
Pesan Keras untuk China, AS Kerahkan Kapal Selam Nuklir Pembawa 153 Rudal ke Pasifik Barat
Menurut laporan The Guardian pada Kamis (15/5/2025), Pakistan berhasil menjatuhkan tiga jet tempur Dassault Rafale milik India.
Jet Rafale buatan Prancis itu dilaporkan ditembak jatuh oleh J-10C, pesawat tempur buatan China yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Pakistan.
Insiden ini menandai debut tempur global pertama bagi J-10C dan rudal udara-ke-udara PL-15 yang dibawanya.
Baca Juga:
Langkah Terhenti di Delapan Besar, Timnas Putri Tuai Pengalaman Berharga
Keberhasilan tersebut memberikan wawasan penting bagi para analis militer mengenai kinerja persenjataan China dalam kondisi pertempuran sesungguhnya.
Sebagai dampaknya, saham Chengdu Aircraft Corporation, perusahaan pembuat J-10C, melesat naik di bursa.
“Setiap negara yang memproduksi atau membeli senjata pasti ingin melihat bagaimana performanya dalam pertempuran nyata. Latihan dan simulasi hanya bisa memberi gambaran parsial.
Ujian sesungguhnya adalah di medan perang,” ujar Siemon Wezeman, peneliti senior dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
China selama ini merupakan sekutu utama Pakistan dan juga pemasok senjata terbesar bagi negara itu.
SIPRI memperkirakan lebih dari 80% arsenal militer Pakistan, termasuk jet, kapal perang, dan sistem rudal, berasal dari China.
Menurut Andrew Small, peneliti senior di German Marshall Fund yang berbasis di Berlin, Beijing memperoleh keuntungan strategis karena senjata mereka kini terbukti mampu menghadapi teknologi militer Barat secara langsung.
“Ini kesempatan langka bagi China untuk mengevaluasi performa sistem persenjataan mereka dalam situasi kompleks, termasuk radar, rudal, sistem peperangan elektronik, bahkan teknologi satelit yang digunakan Pakistan,” jelas Small.
Namun keberhasilan ini juga menimbulkan kekhawatiran global, terutama terkait ambisi China mencaplok Taiwan.
Beijing terus mengklaim pulau itu sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya.
“Kita mungkin perlu meninjau ulang kemampuan udara PLA. Bisa jadi mereka telah menyamai, bahkan melampaui, kekuatan udara AS di kawasan Asia Timur,” kata Shu Hsiao-Huang, peneliti dari Institut Penelitian Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, militer China telah mengalami modernisasi besar-besaran dengan target kesiapan penuh untuk invasi darat dan udara ke Taiwan pada 2027.
Beijing memperkirakan Amerika Serikat akan turun tangan jika konflik tersebut pecah.
Kendati begitu, Yun Sun, Direktur Program China di Stimson Center, mengingatkan bahwa medan perang Taiwan akan jauh lebih kompleks dibanding konflik India-Pakistan.
Perang di Selat Taiwan kemungkinan besar akan melibatkan kekuatan laut, marinir, dan operasi darat dalam skala besar.
“Selain itu, India tidak menggunakan sistem persenjataan buatan AS dalam konflik kali ini,” kata Sun.
“Namun kemenangan tak terduga dari J-10C dan rudal PL-15 China akan membuat banyak pihak mempertimbangkan ulang peta kekuatan militer jika ketegangan Taiwan memanas.”
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]