WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gelombang duka dan kecemasan melanda Kolombia setelah seorang kandidat presiden ditembak di kepala saat kampanye berlangsung.
Insiden mengejutkan ini kembali mengingatkan publik akan masa-masa kelam kekerasan politik yang sempat menghantui negeri itu beberapa dekade lalu.
Baca Juga:
Presiden Kolombia Perintahkan Pembukaan Kedutaan di Kota Ramallah, Palestina
Calon presiden Miguel Uribe Turbay menjadi korban dalam insiden penembakan yang terjadi saat ia berkampanye di Bogota, Sabtu (7/6/2025) sore waktu setempat.
Pria berusia 39 tahun itu terluka parah setelah peluru menembus kepalanya ketika ia sedang bertemu para pendukung.
Turbay, yang juga menjabat sebagai Senator dari partai kanan Democratic Center, langsung dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis.
Baca Juga:
Putra Presiden Kolombia Ditangkap Terkait Kasus Dugaan Pencucian Uang
Pihak kepolisian mengonfirmasi bahwa satu orang tersangka telah diamankan di lokasi kejadian, namun identitas dan motifnya belum diungkap ke publik.
Partai tempat Turbay bernaung langsung merespons keras. “Kami mengutuk serangan serius terhadap Senator dan calon presiden Miguel Uribe Turbay,” bunyi pernyataan resmi mereka, menyebut serangan tersebut sebagai bentuk kekerasan politik yang berbahaya.
Presiden Kolombia Gustavo Petro juga mengecam insiden tersebut dan memerintahkan penyelidikan menyeluruh. “Simpati saya kepada keluarga Uribe dan keluarga Turbay.
Saya tidak tahu bagaimana cara meringankan penderitaan mereka,” tulis Petro.
Ia menyebut pelaku sebagai “sampah kemanusiaan” yang harus dihukum seberat-beratnya.
Menteri Luar Negeri Laura Sarabia turut bersuara. “Kekerasan tidak akan pernah menjadi jalan keluar... Saya sungguh berharap (Uribe) dalam keadaan sehat dan terbebas dari bahaya,” tulisnya.
Uribe dikenal sebagai kritikus keras pemerintahan saat ini dan telah menyatakan niatnya maju dalam pemilihan presiden Kolombia 2026 sejak awal tahun ini.
Penembakan ini menjadi salah satu serangan politik paling serius di Kolombia sejak era berdarah pada awal 1990-an, ketika gembong narkoba seperti Pablo Escobar kerap memicu kekacauan dan pembunuhan tokoh publik.
Kembali terulangnya kekerasan semacam ini memunculkan kekhawatiran akan stabilitas politik negara menjelang pemilu mendatang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]