WahanaNews.co | Dalam salah satu pemberitaannya, New York Times menyebutkan polisi kurang terlatih mengendalikan massa dalam kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu.
Menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo, Polri melakukan analisa dan evaluasi secara rutin setiap kejadian yang menyangkut keamanan melibatkan massa seperti Tragedi Kanjuruhan.
Baca Juga:
Hasil TGIPF: Tragedi Kanjuruhan Lebih Mengerikan Dibanding Konten Medsos
“Setiap kejadian selalu dievaluasi dilihat secara utuh tiga hal terkait sistem hukum (legal system),” kata Dedi, saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (5/10/2022), dikutip dari Antara.
Penjelasan Dedi tersebut disampaikan menanggapi artikel yang ditulis oleh salah satu media luar negeri yang menyebutkan Polri kurang terlatih kendalikan massa di Kanjuruhan.
Dedi kemudian menjelaskan terkait tiga sistem hukum yang dianut Polri dalam melakukan analisis dan evaluasi pada setiap kejadian.
Baca Juga:
Komnas HAM: Aremania Berhambur ke Lapangan Ingin Pelukan dengan Pemain
Pertama, kata dia, substansi atau instrumen hukumnya. Kedua, struktur hukumnya dan yang ketiga budaya hukumnya.
Dalam penjelasannya, Dedi juga menyebut tentang diskresi yang dimiliki oleh anggota Polri.
“Dan diskresi kepolisian secara universal bahwa setiap polisi berdasarkan penilaiannya dapat mengambil tindakan yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku,” ujarnya.
Menurutnya, ketiga instrumen sistem hukum dan diskresi itu, juga dianalisis dan evaluasi (anev), yang akan terus dilatih oleh jajaran Polri.
“Itu semua dianev dan terus akan dilatih,” kata Dedi.
Media asing tersebut juga mengulas pendapat para ahli, salah satunya terkait impunitas Polri, termasuk disebut tidak pernah dimintai pertanggungjawabannya setiap kali ada kejadian.
Dedi menegaskan bahwa pertanggungjawaban secara personal terus dilakukan kepada anggota yang kedapatan melakukan pelanggaran baik secara pidana maupun Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
“Setiap kesalahan yang dilakukan oleh personel sesuai pertanggungjawaban personal akan ditindak sesuai peraturan yang berlaku baik pidana dan KKEP,” kata Dedi.
Salah satu media bergengsi dunia, The New York Times, membuat laporan khusus terkait kericuhan di Stadion Kanjuruhan usai laga Arema FC vs Persebaya. New York Times menyorot peran personel Polri yang menembakkan gas air mata sehingga menimbulkan kekacauan.
Dalam laporan berjudul Deadly Soccer Clash in Indonesia Puts Police Tactics, and Impunity, in Spotlight itu disebutkan pula bagaimana polisi Indonesia kerap melampaui batas dalam menghadapi kerusuhan dan seakan kebal hukum.
Ironisnya, semua itu terjadi ketika anggaran Polri terus naik.
“Selama bertahun-tahun, puluhan ribu orang Indonesia telah menghadapi kekuatan polisi yang korup menurut banyak orang, menggunakan kekuatan brutal untuk menghalau massa, dan tidak akuntabel kepada siapa pun,” demikian tulis New York Times, Senin (3/10/2022).
Menurut para ahli, Tragedi Kanjuruhan menunjukkan masalah sistematis yang menjangkiti kepolisian Indonesia. Banyak personel yang kurang terlatih dalam kontrol kerumunan kendati “sangat termiliterisasi.”
“Bagi saya, ini benar-benar fungsi kegagalan reformasi polisi di Indonesia,” kata Jacqui Baker, pakar ekonomi politik Universitas Murdoch Australia yang meneliti kepolisian di Indonesia.
Baker menambahkan, selama lebih dari dua dekade, aktivis dan ombudsman telah menyelidiki berbagai tindakan polisi yang bermasalah. Namun, walaupun diteruskan ke pimpinan polisi, laporan mereka kerap berdampak kecil atau tidak berdampak sama sekali.
“Kenapa kita terus menghadapi impunitas (keadaan kebal hukum)? Karena tidak ada kepentingan politis untuk benar-benar membuat suatu pasukan polisi yang profesional,” tegas Baker. [qnt]