WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah ketidakpastian geopolitik yang terus melanda kawasan Timur Tengah, modernisasi kekuatan militer menjadi prioritas utama bagi negara-negara di wilayah tersebut.
Arab Saudi, sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan, terus berupaya memperkuat kapabilitas pertahanannya untuk menghadapi tantangan masa depan.
Baca Juga:
Pastikan Pelayanan Optimal, Dahnil Anzar Inspeksi Hotel hingga Dapur Jemaah Haji
Dalam konteks inilah, kunjungan penting dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke Arab Saudi yang dijadwalkan pada Mei 2025 menjadi sangat krusial.
Salah satu agenda utama dalam lawatan ini adalah pembahasan paket akuisisi persenjataan senilai lebih dari 100 miliar dolar AS oleh Riyadh.
Dalam daftar belanja tersebut, Arab Saudi menunjukkan minat besar untuk mengakuisisi jet tempur siluman F-35A Lightning II buatan Lockheed Martin, guna memperkuat jajaran armada tempur mereka yang saat ini terdiri dari F-15 Eagle dan Eurofighter Typhoon.
Baca Juga:
Kesalahan Transfer Dana, Ribuan Jemaah Pakistan Terancam Gagal Menunaikan Haji
Ketertarikan Arab Saudi terhadap F-35A tidak hanya berdasarkan pada kecanggihan teknologinya semata, tetapi juga menyangkut dampak strategis yang ditimbulkannya.
Jet tempur generasi kelima ini menawarkan kemampuan siluman canggih dan integrasi jaringan yang superior, yang dinilai akan memberikan keuntungan besar dalam potensi konflik di kawasan, khususnya menghadapi ancaman dari Iran maupun kelompok Houthi di Yaman.
Keberadaan F-35A dinilai akan memungkinkan Angkatan Udara Arab Saudi (RSAF) untuk melaksanakan serangan presisi serta mempertahankan supremasi udara, bahkan terhadap lawan yang dilengkapi sistem pertahanan udara mutakhir.
Namun demikian, akuisisi F-35A tidak akan berjalan mulus. Hambatan utama terletak pada kebijakan Amerika Serikat yang berkomitmen untuk menjaga Keunggulan Militer Kualitatif (QME) Israel di kawasan.
Berdasarkan hukum AS, setiap penjualan alutsista ke negara-negara Timur Tengah harus mempertimbangkan agar Israel tetap mempertahankan superioritas teknologinya atas negara-negara tetangga.
Setiap proposal penjualan F-35A ke Arab Saudi harus melalui peninjauan ketat oleh Kongres AS untuk memastikan bahwa transaksi tersebut tidak mengganggu keseimbangan QME.
Jika negosiasi menemui jalan buntu dan akuisisi F-35A gagal direalisasikan, Arab Saudi kemungkinan besar akan mencari alternatif ke negara lain.
Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah jet tempur generasi kelima asal Tiongkok, seperti J-20 atau J-35A.
Sebagai catatan, hubungan militer antara Riyadh dan Beijing telah menguat sejak awal tahun 2022, saat Menteri Pertahanan China, Wei Fenghe, bertemu dengan Wakil Menteri Pertahanan Arab Saudi, Khalid bin Salman, guna memperluas kerja sama pertahanan kedua negara.
Menurut Letkol (Purn.) Michael Hartwell, seorang analis pertahanan dan pengamat militer di Washington D.C., "Jika Amerika Serikat terlalu lambat dalam merespons kebutuhan Arab Saudi, kekosongan itu akan dengan cepat diisi oleh China. Ini bukan sekadar soal penjualan senjata, melainkan tentang pengaruh strategis di kawasan yang semakin vital."
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]