WahanaNews.co | Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, Selasa (5/10/2021), dengan tegas membantah negerinya tengah berada dalam krisis karena kekurangan tenaga kerja.
Ia menampik tuduhan bahwa Inggris sedang menghadapi fenomena inflasi spiral yang pernah terjadi pada tahun 1970-an.
Baca Juga:
Kalah Telak, PM Inggris Rishi Sunak Tinggalkan Kursi Pimpinan Partai
Tantangan ekonomi yang kini dihadapi Inggris, khususnya di sektor ketenagakerjaan, dinilai adalah bagian dari adaptasi negara itu setelah keluar dari Uni Eropa.
Menurut Johnson, para pebisnis di Inggris selama 25 tahun terakhir mengutamakan tenaga kerja impor berupah rendah.
Setelah keluar dari Uni Eropa, mereka sekarang harus membayar lebih mahal pekerja mereka, dan sekaligus lebih banyak berinvestasi.
Baca Juga:
Unggul di Quick Count, PM Belanda dan 4 Kepala Negara Ucapkan Selamat ke Prabowo
Ia menolak anggapan bahwa Inggris berada dalam kondisi krisis sebagaimana ditanyakan oleh reporter radio BBC.
”Tidak. Saya pikir sebaliknya, apa yang Anda lihat dengan ekonomi Inggris, dan (termasuk) ekonomi global sebagian besar terletak pada rantai pasokan,” kata Johnson.
Di mata Johnson, apa yang terjadi di negaranya saat ini adalah bagian dari konsekuensi kondisi Brexit.
Selama bergabung dengan sistem Uni Eropa, Inggris bisa menerapkan biaya upah yang lebih, biaya hidup pun demikian, termasuk dengan dukungan sistem imigrasi.
Pasca-Brexit, menurut Johson, kalangan bisnis harus menggelontorkan investasi lebih besar.
Ditanya apakah Inggris sedang menuju inflasi spiral gaya tahun 1970-an, dia berkata: ”Saya tidak berpikir bahwa masalah seperti itu akan muncul dengan sendirinya, menurut saya, kemampuan alami negara ini untuk memilah logistik dan rantai pasokannya sebenarnya sangat kuat.”
Inflasi spiral adalah kondisi di mana tingkat inflasi terus terjadi. Hal itu terjadi ketika muncul kenaikan tingkat upah.
Pertanyaan BBC dan jawaban Johnson itu memang mengacu pada kondisi terkini di Inggris.
Sejumlah media melaporkan para pengusaha di Inggris tengah menghadapi kekurangan pasokan tenaga kerja.
Bahkan disebut paling parah karena lonjakan kegiatan ekonomi pasca-penguncian Covid-19 dan Brexit.
Kondisi itu mendorong kenaikan gaji untuk staf permanen.
Konfederasi Perekrutan dan Ketenagakerjaan (REC) Inggris pada awal September lalu mengatakan, kalangan pengusaha Inggris optimistis tentang prospek ekonomi mereka pada Agustus.
Namun upaya mereka merekrut pegawai dihadang kurangnya pasokan tenaga kerja.
Kondisi itu mengkhawatirkan sejumlah pihak, termasuk Gubernur Bank of England Andrew Bailey.
Pihak REC mengatakan, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi kurangnya pasokan tenaga kerja di Inggris.
Faktor itu antara lain keengganan kalangan pekerja beralih peran karena pandemi, kurangnya pekerja asal negara-negara UE, serta kurang terampilnya tenaga kerja yang ada, terutama untuk memenuhi standar keterampilan khusus yang dibutuhkan.
Saat ini kebutuhan tenaga kerja di Inggris sangat tinggi.
Akibat kurangnya pasokan tenaga kerja, para pengusaha pergudangan di Inggris dilaporkan harus membayar 30 persen lebih tinggi dari biasanya.
Tambahan itu dikeluarkan untuk merekrut staf-staf mereka.
Kelompok pengelola gudang dan agen perekrutan mengatakan mereka berupaya keras mencari pengganti staf asal UE yang biasanya datang untuk periode tertentu, termasuk menjelang musim liburan akhir tahun.
Clare Bottle, CEO Asosiasi Pergudangan Inggris, mengatakan, anggotanya telah melaporkan harus menaikkan gaji 20-30 persen untuk mengamankan pekerja yang ada.
Bottle mengungkapkan kekurangan tenaga kerja di pergudangan mencapai puluhan ribu dari total kebutuhan hingga 200.000 orang.
”Masalahnya besar. Saya akan mengatakan kita kekurangan puluhan ribu tenaga kerja,” kata dia.
Kamar Dagang Inggris mengatakan kekurangan staf dan gangguan rantai pasokan global pasca-pembatasan wilayah kemungkinan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Inggris dalam beberapa bulan mendatang.
Ekonomi Inggris diproyeksikan pulih --dalam kondisi seperti sebelum pandemi-- pada triwulan I-2022.
Itu artinya ekonomi Inggris pulih dengan laju lebih lambat daripada yang diproyeksikan oleh BoeE.
Awalnya, lembaga itu memproyeksikan, ekonomi Inggris akan kembali pulih pada triwulan IV tahun ini.
Di sisi lain, investasi para pebisnis dikhawatirkan akan turun tahun ini.
Hal itu terjadi sebagai dampak dari terpukulnya kondisi keuangan perusahaan-perusahaan akibat pandemi dan tagihan pajak yang lebih besar.
Kekhawatiran atas kebijakan pembatasan sosial yang lebih besar di masa mendatang juga menambah proyeksi suram atas ekonomi Inggris, sekalipun London mengucurkan insentif pajak. [qnt]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “PM Boris Johnson Bantah Inggris Alami Krisis Tenaga Kerja”. Klik untuk baca: PM Boris Johnson Bantah Inggris Alami Krisis Tenaga Kerja - Kompas.id.