WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto kembali menegaskan sikap ekonomi nasional yang mandiri dan berdaulat saat berbicara dalam ajang St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia.
Dalam forum bergengsi yang dihadiri para pemimpin dunia dan pelaku ekonomi global itu, Prabowo mengkritik kecenderungan negara-negara Asia Tenggara yang menurutnya terlalu bergantung pada kekuatan ekonomi besar dunia.
Baca Juga:
Prabowo Hadiri Pengukuhan 1.451 Hakim Mahkamah Agung
Menurut Prabowo, ketergantungan tersebut merupakan kesalahan besar karena mengabaikan kebutuhan masing-masing negara untuk membangun filosofi dan kebijakan ekonomi sendiri yang sesuai dengan latar budaya dan karakter nasionalnya.
"Setiap negara perlu memiliki kebijakan ekonomi dan filosofi ekonominya sendiri. Salah satu kesalahan besar banyak negara di Asia Tenggara adalah kita cenderung selalu mengikuti kekuatan terbesar dan terkuat di dunia," tegas Prabowo.
Ia menilai selama 30 tahun terakhir, banyak negara, termasuk Indonesia, terjebak dalam dominasi filosofi pasar bebas klasik yang bercorak kapitalis neoliberal.
Baca Juga:
Ketika Lagu Kebangsaan Menyatukan, Pesan Solidaritas Presiden Prabowo dari Unhan
Akibatnya, ketimpangan sosial terus melebar, dan pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya berdampak pada rakyat banyak.
"Elite Indonesia mengikuti filosofi ini. Dan karenanya, menurut saya, kita belum berhasil menciptakan lapangan bermain yang setara bagi semua rakyat kita," ungkapnya.
Prabowo memaparkan bahwa meskipun Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen selama tujuh tahun berturut-turut, distribusi kekayaan masih timpang.
"Ya, 5 persen dalam tujuh tahun, tetapi kita belum berhasil mencapai apa yang disebut trickle down effect. Kekayaan tetap berada di atas kurang dari 1 persen kelompok masyarakat. Dan ini bukan rumus untuk mencapai kesuksesan, menurut pendapat saya," katanya.
Sebagai solusinya, Prabowo menolak ekstremisme dalam sistem ekonomi.
Ia mengusulkan pendekatan tengah yang menggabungkan kekuatan sosialisme dan kapitalisme, tanpa harus terikat secara kaku pada salah satunya.
"Sosialisme murni, kita melihat banyak peluang, dan banyak kasus orang tidak mau bekerja. Kapitalisme murni menghasilkan ketimpangan, menghasilkan hanya sebagian kecil yang menikmati hasil kekayaan," jelasnya.
"Namun jalan yang kita tempuh adalah jalan tengah. Kita ingin menggunakan kreativitas kapitalisme, inovasi, inisiatif, ya, kita membutuhkannya," tandas Prabowo.
Pandangan ini menjadi bagian dari diplomasi ekonomi Indonesia di panggung global, yang mengedepankan kedaulatan kebijakan dalam menghadapi tekanan arus ideologi ekonomi global.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]