WahanaNews.co | Sejumlah Youtuber asing, pemilik bisnis dari Inggris, Kolombia, dan Singapura, ramai-ramai menyampaikan pembelaannya pada China. Mereka menganggap tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan kecaman Barat terhadap China tak lebih dari konspirasi.
Ini juga disebut sebagai bentuk 'perlawanan' atas tuduhan yang tidak adil terhadap China. Sementara para ahli mengatakan mereka sedang digunakan sebagai senjata dalam perang informasi melawan kritikus China, dengan ratusan video mencapai jutaan pemirsa.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
"Saya mencoba menjangkau orang-orang yang telah dicuci otaknya," kata Fernando Munoz Bernal, seorang guru bahasa Inggris Kolombia di Dongguan China selatan dan pemilik saluran "FerMuBe", mengatakan kepada AFP, dikutip Minggu (12/9).
Bernal yang mengaku datang ke China pada tahun 2000 dan memiliki hampir 30 ribu pengikut YouTube dan 18 ribu pelanggan di platform China Bilibili, termasuk di antara vlogger yang membantah tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang tahun ini.
Dalam sebuah video yang dibuat April, Bernal malah menuduh media asing melakukan pelaporan menyimpang tentang Xinjiang dan membela keengganan bisnis lokal untuk berbicara dengan koresponden terhadap 'kebohongan dan rumor apa pun yang dibuat oleh jurnalis'.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Amerika Serikat dan pemerintah lainnya telah menuduh genosida terjadi di Xinjiang. Sementara kelompok hak asasi manusia mengatakan pihak berwenang China telah memberlakukan penahanan massal dan kerja paksa di wilayah tersebut.
Beijing membantah tuduhan itu dan telah melakukan kritik terhadap pemerintah, individu, kelompok media, serta perusahaan yang telah mewacanakan penyelidikan terhadap Xinjiang.
Sementara itu para vlogger menyangkal dibayar sebagai corong pemerintah China. Sebaliknya mereka mengklaim memiliki misi yang ditunjuk sendiri untuk menjernihkan kesalahpahaman tentang negara yang mereka cintai.
Latar belakang mereka ini sering kali di bidang yang tidak terkait dengan urusan atau politik. Sementara video mereka memadukan cuplikan kehidupan sehari-hari dengan komentar penuh semangat membela Tiongkok.
Bernal mengatakan dia termotivasi oleh ketakutan akan konflik antara China dan Barat yang dipicu oleh apa yang dia sebut kampanye disinformasi terhadap Beijing.
"Jika ada perang, hidup saya dalam bahaya," katanya.
YouTube tidak dapat diakses di China tanpa perangkat lunak VPN. Namun video subtitle Bernal mendapat sambutan hangat pada platform media sosial China termasuk Bilibili. Sementara media pemerintah sering menerbitkan ulang konten mereka dan menampilkan vlogger secara online.
"Jika memungkinkan, sistem propaganda terikat untuk mengintegrasikan mereka ke dalam upaya propaganda mereka sendiri," menurut Florian Schneider, peneliti politik dan direktur Leiden Asia Centre kepada AFP.
Bernal mengatakan dia dan YouTuber lainnya berbagi kesempatan untuk berkolaborasi dengan media pemerintah. Tapi bersikeras menyebut bila mereka bukan seorang propagandis untuk Partai Komunis China.
Dalam video lain ia menampilkan tur yang disponsori China Radio International yang dikelola pemerintah. Ia turut mewawancarai YouTuber lain tentang kritik terhadap China dan mengeksplorasi proyek pembangunan pedesaan.
Kemudian dalam satu video, ia mengecam protes pro-demokrasi 2019 di Hong Kong sebagai "terorisme" dan menyarankan Amerika Serikat berusaha memprovokasi perang dengan China dengan mendukung gerakan tersebut sembari merujuk teori konspirasi 9/11.
"Jika Anda membuat konten yang disukai pemerintah, atau apa pun, apa masalahnya jika mereka memposting ulang?" kata Lee Barrett dari saluran "Barrett", yang memiliki lebih dari 300 ribu pelanggan YouTube.
Barret menolak untuk diwawancarai oleh AFP setelah awalnya setuju untuk berbicara.
Sementara para peneliti mengatakan China menggunakan akun palsu dan "bot" untuk memanipulasi lalu lintas online, tapi AFP tidak menemukan bukti bahwa bloger ini bagian dari upaya tersebut. [rin]