WAHANANEWS.CO, Jakarta - Seruan membentuk aliansi militer bersama negara-negara Muslim meletup semakin keras setelah serangan Israel ke sebuah kompleks perumahan di Doha menewaskan lima anggota Hamas dan seorang petugas keamanan Qatar.
Pertemuan darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Qatar pada Senin (15/9/2025) menjadi panggung bagi Mesir dan Iran yang mendorong lahirnya pakta pertahanan kolektif ala NATO di kawasan Timur Tengah.
Baca Juga:
Qatar Ancam Balas Serangan Israel, Arab Saudi hingga Yordania Turun Tangan
Usulan itu dipandang sebagai langkah paling serius dalam beberapa dekade terakhir menuju perjanjian militer bersama dunia Islam.
Latar belakangnya adalah rentetan eskalasi serangan Israel, mulai dari operasi terhadap target Iran di awal tahun, konflik yang terus berlangsung di Gaza, hingga serangan terbaru ke ibu kota Qatar yang selama ini berperan sebagai mediator regional.
Para pemimpin Muslim pun semakin lantang menyebut Israel sebagai sumber instabilitas kawasan.
Baca Juga:
Prabowo dan Emir Qatar Sepakat Perkuat Diplomasi Global Pascainsiden West Bay
Pejabat Arab dan Iran memperingatkan tanpa aksi nyata, Timur Tengah akan terus diguncang operasi militer Israel di masa depan.
Pertemuan OKI dipandang sebagai momentum krusial untuk menguji apakah seruan persatuan Muslim bisa benar-benar diwujudkan dalam bentuk perjanjian pertahanan kolektif.
Mesir, dengan kekuatan militer terbesar di dunia Arab, mengusulkan pembentukan komando gabungan yang berbasis di Kairo.
Sementara itu, Iran mendorong lahirnya koalisi Muslim yang lebih luas.
Mohsen Rezaei, mantan komandan Garda Revolusi Iran, bahkan memperingatkan negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Irak bisa menjadi target berikutnya jika blok Muslim gagal bertindak tegas.
"Satu-satunya solusi adalah membentuk koalisi militer," tegas Rezaei.
Nada serupa juga muncul dari Jalal Razavi-Mehr, ulama senior Iran, yang mendesak lahirnya satu angkatan bersenjata Islam dengan doktrin pertahanan sekaligus ofensif bersama.
Namun dari kalangan diplomasi, sikap lebih berhati-hati disuarakan.
Mehdi Shoushtari dari Kementerian Luar Negeri Iran menilai masih terlalu dini untuk meresmikan pakta militer tersebut, meski ia mengakui kondisi sekarang "lebih kondusif dibanding masa lalu."
Pakistan, satu-satunya negara Muslim pemilik senjata nuklir, juga menawarkan gagasan pembentukan gugus tugas bersama.
Tujuannya untuk memantau langkah Israel sekaligus menyiapkan respons pencegahan maupun serangan terkoordinasi.
Jika berhasil diwujudkan, pakta pertahanan Muslim ala NATO berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan di Timur Tengah sekaligus menguji kembali posisi Amerika Serikat sebagai penjamin keamanan kawasan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]