WahanaNews.co | Setelah gencatan senjata yang diinisiasi oleh Amerika Serikat gagal, Ibu kota Sudan dihujani berbagai serangan dari udara serta ledakan dari tentara dan paramiliter, membuat warga harus berlindung, membuat Jepang mempersiapkan proses evakuasi untuk warganya.
Serangan bertubi-tubi dan bombardir terdengar di tengah kota Khartoum, dekat area kementerian pertahanan serta bandara.
Baca Juga:
TKN Prabowo-Gibran Pamer Sukses Program Makan Gratis Siswa di India dan Sudan
Kedua lokasi itu sudah berhenti beroperasi sejak awal diperebutkan oleh kedua pihak yang berseteru. Asap tebal menyelimuti langit Sudan.
Negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, berupaya untuk melangsungkan inisiatif gencatan senjata, agar tentara dan Pasukan Bantuan Cepat (RSF) berhenti saling menyerang dan warga yang terjebak dalam pertempuran itu bisa segera mendapatkan akses ke bantuan dan stok yang dibutuhkan.
Keduanya mengindikasikan bahwa mereka akan melakukan gencatan senjata pada 18.00 (16.00 GMT) Selasa (18/4) waktu setempat.
Baca Juga:
Seorang Jurnalis Reuters Terbunuh di Lebanon Akibat Serangan dari Arah Israel
Akan tetapi, aksi saling tembak tidak dapat terhindarkan. Masing-masing pihak, yaitu tentara dan RSF mengeluarkan pernyataannya, menuduh pihak lawannya tidak bisa menepati janjinya.
Petinggi tentara mengatakan mereka akan melanjutkan upaya mereka untuk mengamankan ibu kota serta berbagai tempat lainnya.
Seorang warga yang tinggal di bagian timur Khartoum mengatakan bahwa pertempuran berlanjut pada Rabu dini hari, sebelum akhirnya terhenti lagi. Katanya, sehari sebelumnya, terdapat banyak serangan udara dan artileri dekat rumahnya.
"Kami tidak bisa tidur. Sepi hanya pas pukul 3 sampai pukul 5 pagi." katanya.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang mengatakan bahwa otoritas berencana untuk menggunakan pesawat dari Pasukan Bela Diri Jepang untuk mengevakuasi 60 warganya yang saat ini berada di Sudan, serta berkoordinasi dengan negara-negara lainnya.
Sejak Sabtu pagi, untuk pertama kalinya selama beberapa dekade, pertempuran dahsyat pecah di Sudan.
Pertempuran itu terjadi di Khartoum dan dua kota tetangga, Omdurman dan Bahri, yang berada dekat dengan Nil Biru dan Putih.
Perseteruan tersebut menggagalkan rencana terbaru untuk transisi ke demokrasi sipil yang didukung komunitas global, empat tahun setelah otokrat Islam Omar al-Bashir jatuh, dan dua tahun setelah kudeta militer.
Perang kedua kubu itu menyebabkan mati listrik, putusnya sambungan air, membuat warga kesulitan di hari-hari terakhir Ramadhan di mana umat Muslim harus berpuasa dari pagi sampai maghrib. Banyak rumah sakit harus menghentikan operasinya karena tidak ada daya.
Warga Khartoum diminta untuk hemat listrik, karena menurut badan distribusi negara, server yang melayani pembelian secara daring sudah tidak beroperasi.
Menurut pernyataan yang dikeluarkan badan itu, server terletak di tempat yang terlalu berbahaya, yang tidak bisa dijangkau oleh para teknisi.
Kompleks perkantoran dan sekolah yang ada di ibu kota ditutup sejak perseteruan itu terjadi. Banyak laporan tentang penjarahan dan penyerangan, dan banyak yang mengantre di toko-toko roti yang masih buka.
"Banyak barang yang tidak tersedia. Orang-orang mencari barang-barang, tapi tidak bisa menemukannya," kata Mohamed, seorang warga di Bahri.
Berbagai agensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa banyak dari program mereka yang tersebar di seluruh penjuru dunia, yang sudah berada dalam situasi genting, harus dihentikan pula.
Banyak warga yang berencana ke selatan, ke pedesaan di Khartoum atau Gezira apabila gencatan senjata sudah disepakati.
Ahmad Omer, koordinator komunikasi di Dewan Pengungsi Norwegia yang terletak di Al Qadarif, Sudan, berharap bisa ke Khartoum untuk bertemu ayah dan ibunya di akhir Ramadhan. Akan tetapi, perseteruan itu menggagalkan niatnya.
"Kami berharap perdamaian akan datang, dan pemerintahan akan terbentuk," katanya.
"Mereka menghancurkan seluruh impian anak muda Sudan dan revolusi Sudan."
Pertempuran itu pecah antara tentara yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan kepala RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, menyusul ketegangan terkait rencana untuk mengintegrasikan RSF ke tentara nasional.
Burhan memimpin dewan penguasa yang dibentuk setelah kudeta militer pada 2021 dan penggulingan Bashir pada 2019. Sementara Dagalo, alias Hemedti, adalah wakil Burhan di dewan itu.
Perselisihan tentang jadwal proses itu akhirnya berujung pada penundaan penandatanganan kesepakatan kerangka kerja untuk transisi sipil. Seharusnya, kesepakatan itu diteken awal bulan ini.[eta]