WahanaNews.co | Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, akan bekerjasama dengan mitra regionalnya untuk menetralisir
ancaman Korea Utara (Korut).
ass="MsoNormal">Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris
Pers Gedung Putih, Jen Psaki, kepada wartawan.
Baca Juga:
Benarkah AS Tak Lagi Adidaya? Ini 3 Penyebab Runtuhnya Amerika Versi Warganya Sendiri
"Seperti yang kita miliki secara
historis, Amerika Serikat akan bekerjasama dengan mitra di kawasan untuk
menentukan jalan ke depan dan bekerjasama dalam pencegahan," kata Psaki.
"Kami jelas memiliki kepentingan vital
untuk menghalangi Korea Utara," imbuhnya, seperti
dikutip dari Sputnik, Sabtu
(23/1/2021).
Mitra tersebut termasuk Jepang dan
Korea Selatan (Korsel).
Baca Juga:
Teror Drone Kamikaze Guncang Pangkalan Irak, Siapa Dalangnya?
Menurut laporan Reuters, bulan lalu, Biden
kemungkinan akan terus menggunakan alat paksaan diplomatik yang disukai Trump --sanksi ekonomi-- terhadap musuh-musuh AS, termasuk Korut.
Selama kampanye Pemilihan Presiden 2020, Biden berusaha menjauhkan
diri dari pemulihan hubungan yang dipakai Donald Trump dengan Pemimpin Korut
Kim Jong-un.
Trump tercatat beberapa kali melakukan
pertemuan dengan Kim Jong-un untuk meyakinkan negara sosialis tersebut agar
menghentikan program senjata nuklirnya sebagai imbalan pencabutan beberapa
sanksi.
Pada akhirnya, Trump tidak mau
memberikan keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembongkaran beberapa
fasilitas uji coba nuklir Korut, dan pembicaraan berujung pada kegagalan.
Selama debat yang disiarkan televisi dengan
Trump pada Oktober 2020, Biden membandingkan Kim Jong-un dengan diktator fasis
Jerman, Adolf Hitler.
Biden mengatakan, dia hanya
akan setuju untuk bertemu jika Kim Jong-un sepakat mengurangi persenjataan nuklir
negaranya.
Negara itu menguji perangkat nuklir
pertamanya pada tahun 2006, dan diyakini memiliki tak kurang dari 40 hulu ledak nuklir.
Tidak diketahui, apakah mereka telah membuat miniatur yang memadai dari salah satu
hulu ledak itu, agar sesuai dengan rudal balistik
antarbenua (ICBM).
Sebelumnya, pada November 2019, Biden
mengkritik tajam kebijakan Trump setelah Korut menguji dua rudal jarak pendek,
menyebut kebijakan itu serangkaian kegagalan diplomatik yang spektakuler dan
menyerang Kim Jong-un sebagai "diktator pembunuh".
Dia mengatakan, Trump
salah memperlakukan Kim Jong-un sederajat saat keduanya bertemu di Hanoi,
Vietnam, dan di Singapura.
Menanggapi hal itu, Kementerian Luar
Negeri Korut menyebut Biden kehilangan kualitas dasar sebagai manusia dan
menuduhnya rakus akan kekuasaan dalam pernyataan pedas yang diterbitkan oleh
kantor berita milik Korut, KCNA.
"Anjing rabies seperti Biden
dapat melukai banyak orang jika mereka dibiarkan lepas kendali. Mereka harus
dipukul sampai mati dengan tongkat, sebelum terlambat," tambah pernyataan
itu.
"Melakukan hal itu akan
bermanfaat juga bagi AS," sambung pernyataan tersebut.
Pada parade militer di Ibu Kota
Pyongyang, pekan lalu, Korut memamerkan sejumlah besar misil, termasuk rudal
balistik yang diluncurkan oleh kapal selam yang sebelumnya tidak diketahui oleh
pengamat Barat.
ICBM besar lainnya muncul dalam parade
Oktober 2020.
Namun, belum ada uji coba roket
semacam itu yang dilakukan oleh Korut sejak mengadopsi pembekuan uji coba
sepihak pada tahun 2017.
AS secara teknis tetap berperang
dengan Korut, karena Perang Korea 1950-53 hanya berakhir dengan gencatan
senjata, bukan perjanjian perdamaian permanen.
Perang tersebut menewaskan sekitar
tiga juta orang, sebagian besar dari mereka adalah warga Korea.
Gencatan senjata membentuk zona
demiliterisasi yang memisahkan Korea Utara dan Selatan, dan AS mempertahankan
garnisun pasukannya di Selatan untuk mencegah kemungkinan invasi oleh Korut.
Pada tahun 2018, kedua Korea
menandatangani deklarasi akhir perang sebagai bagian dari pemulihan hubungan
bersejarah mereka sendiri.
Tetapi langkah lebih lanjut menuju
perdamaian berantakan di tengah keberatan AS, serta hubungan
antara Seoul dan Pyongyang akhirnya menjadi sangat dingin.
Namun, akhir tahun lalu, Presiden
Korsel, Moon Jae-in, yang menandatangani kesepakatan 2018 dengan Kim
Jong-un, menekan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan AS untuk membantu
mengakhiri konflik selama 70 tahun itu dengan membuat pernyataan perang
berakhir. [dhn]